LH: 25

561 20 0
                                    

Assalamualaikum
Hati-hati typo!

Anin mempertajam penglihatannya sesekali menggosok matanya untuk memastikan ia tidak salah melihat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anin mempertajam penglihatannya sesekali menggosok matanya untuk memastikan ia tidak salah melihat. Atensinya terkunci pada gadis cantik berjilbab biru tengah berbincang dengan seorang lelaki. Wajah gadis itu sangat sangat ia kenal, tetapi ia tidak bisa melihat wajah lelakinya sebab membelakangi dirinya.

Ia bersembunyi di balik pohon besar. Kini ia berada di taman. Tujuan awalnya adalah untuk membeli cilok dan berjalan-jalan sore. Akan tetapi, tanpa disangka ia bertemu dengan sepasang remaja.

"Jadi kamu mau bantuin aku, 'kan?"

"Apa, sih, yang enggak buat kehagiaan sepupuku yang cantik ini. Kemarin aku juga ketemu sama di kafe, emang ngeselin anaknya. Aku bakal bantuin kamu buat singkirin dia."

"Wow, bahkan aku baru kasih tau kamu sekarang, tapi kamu malah udah ketemu kemarin. Gapapa, itu bakal mempermudah karena kamu pasti udah hafal wajahnya."

Di balik pohon, Anin mendengarkan percakapan mereka. Sebenarnya ia tidak berniat menguping, niatnya hanya untuk memastikan apakah itu benar orang yang ia kenal atau bukan.

Ia tidak mengambil pusing apa yang dibicarakan oleh mereka. Namun, ia sedikit bingung saja. Mereka akan menyingkirkan siapa? Bukankah mereka taat agama. Jadi tidak mungkin melakukan hal yang di luar batas.

Saat mereka pergi, ia pun ikut meninggalkan taman. Lagi pula ia sudah selesai dengan tujuannya di sini. Hari pun sudah hampir magrib. Untuk apa juga ia berlama-lama di taman.

Sebab jarak taman yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, ia pun menempuhnya hanya dengan berjalan kaki. Ia berjalan santai menuju rumah sembari menikmati pemandangan perkotaan.

Srek!

"Aku tau kamu denger pembicaraan aku tadi di taman dan pastinya kamu tau siapa orang yang bakal aku singkirin."

Anin yang tadinya santai pun terkejut ketika orang itu menarik kasar pergelangan tangannya.

"Ana emang dengar, tapi aku enggak tau siapa yang kamu maksud."

"Bodoh! Tentu saja kamu sayang."

"Naila, itu cuma salah paham, kamu mau nyingkirin aku cuma gara-gara itu?"

"Aku enggak peduli. Hal yang dapat aku simoulkan itu, kamu merebut Zidan dari aku!" Naila menekankan setiap kata yang ja ucapkan.

Anin sedikit was-was saat Naila merogoh sakunya. Sebelum hal buruk terjadi, ia segera melakukan pergerakan untuk mengunci tubuh Naila. Ia merogoh sakunya lalu melihat benda yang dikantongi.

"Seniat itu, Nai?"

"Lepas!"

Naila terus memberontak. Dengan kondisi Anin yang kurang stabil, tentu saja ia dengan mudah melepaskan diri. Namun, karena pada dasarnya ia tidak bisa bela diri, sehingga saat Anin melakukan bela diri, dengan mudah juga ia mengunci kembali.

"Tolong!"

Sekali jeritan, seorang pemuda datang menghampiri mereka. Anin tersenyum remeh. Pemuda tidak tau aturan itu rupanya sepupu orang yang sudah ka anggap keluarga. Dunia ini luas, tetapi mengapa terasa sempit?

Anin mendorong Naila ke arah pemuda itu. Sungguh, ia tidak suka dalam keadaan seperti ini. Apalagi hanya karena seorang lelaki yang sudah jelas ia tidak menyukainya. Pertemanan hancur karena seorang lelaki? Itu sangat tidak ia sukai.

"Mainnya keroyokan. Enggak suka."

"Banyak bacot lo!"

"Pengecut banget. Beraninya lawan cewek. Kamu laki-laki atau banci?" ucap Anin sarkastis.

Pemuda itu melakukan melakukan kuda-kuda untuk menyerang. Sebab Anin memakai gamis, ka sedikit kesusahan untuk melawan. Ia melakukan gerakan tangkisan. Kondisinya pun belum pulih, ia cukup lemas. Hingga pemuda itu memukul tengkuknya sampai ia kehilangan kesadaran.

***

Sedari sore hingga bakda magrib, Anin belum juga pulang. Pamitnya hanya ingin ke taman, tetapi hingga kini tidak ada kabar sama sekali. Saat ditelepon, ponselnya berdering tetapi tidak diangkat. Tentu saja membuat keluarganya khawatir. Apalagi Anin masih sakit.

Umi Tania menyuruh Arif mencari setelah salat magrib. Ia mencari di sekitar taman dan kafe terdekat terlebih dahulu. Kebetulan AR Cafe salah satu kafe terdekat rumah mereka juga.

"Ngapain, Bang?" tanya Gus Rafa yang kebetulan tengah berada di sana.

"Anin, dia belum pulang dari sore tadi."

"Tadi izinnya kemana?"

"Ke taman, tapi enggak balik-balik."

Gus Rafa terkejut mendengar pernyataan yang ia dengar. Perasaannya menjadi tidak enak. Tidak biasanya juga Anin menghilang tanpa kabar.

Tadi, Arif sudah menghubungi teman-teman SMA Anin, tetapi tidak membuahkan hasil. Ia sangat mengkhawatirkan gadis itu. Biasanya jiks ia akan ada urusan lainnya, maka akan menghubunginya atau yang lain terlebih dahulu.

Ponsel Arif bergetar, ada chat dari ana dan pengiriman lokasi. Setelah dilacak, ponsel Anin berada di gedung yang berada tidak jauh dari perusahaan tempat bekerja ayahnya. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di sana.

"Kamu ikut aku. Kita samperin tempat ini," ucap Arif sembari memperlihatkan chatnya dengan Ana.

Gus Rafa pun menganggukkan kepalanya tegas. Ia tidak mau calon istrinya mengalami hal buruk. Ia pun bergegas ke lokasi menggunakan mobil Arif. Saat sampai di lokasi, ternyata sebuah gudang tidak terpakai.

"Hati-hati, Bang. Banyak jebakan tikus." Arif mengangguk.

Di sekitar pintu masuk, banyak sekali jebakan tikus. Pastinya ini disengaja, tidak mungkin jebakan sebanyak ini terpasang sendiri. Itu mustahil. Gus Rafa dan Arif mengambil kayu untuk membuat jebakan itu tidak lagi membahayakan dengan melemparnya ke tong sampah yang tersedia.

"Ow, ada tamu yang datang ingin menyelamatkan tuan putri ternyata."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang