11

57 6 0
                                    


Jay dan Monday berjalan beriringan menuju rumah Monday.

"Gue penasaran gimana ya mereka di jalan?" -Monday

"Hahaha gue juga. Pasti awkward banget" -Jay

Mereka sedang membahas Jake dan Jiyoon. Sambil tertawa iseng membayangkan situasi seperti apa yang terjadi di antara mereka sekarang.

"Ngomong-ngomong, rumah Jiyoon dimana sih?" -Jay

"Lo tau jalan yang di depan perusahaan besar itu kan? Apa sih namanya? Gak tau lah tapi gedungnya sekitar dua puluh tingkat. Rumah Jiyoon lewat jalan itu lalu belok kiri"

Sebentar.

Rasanya Jay pernah mendengar perusahaan yang seperti itu. Memang hampir semua perusahaan terletak di pinggir jalan. Tapi yang ada di sekitaran cafe sepertinya hanya ada satu.

"Perusahaan yang di depannya ada sekolah masak itu bukan?"

"Nah iya itu"

Perasaan Jay seketika jadi tidak enak . Masalahnya sekarang adalah, perusahaan yang dimaksud Monday barusan adalah milik keluarga Jake.

Dan Jay tahu betul kalau sampai jam 23.00 ayah Jake masih ada di sana.

Melihat Jay diam, Monday merasa ada sesuatu yang salah dengan Jay.

"Kenapa? Kok diam?"

Jay seketika tersadar dari lamunannya.

"A.. ng...nggak. Nggak kenapa-napa"

Monday tidak bertanya lebih lanjut. Biarpun Jay bilang tidak ada apa-apa, tapi Monday tahu kalau pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan Jay.

Dan dia tidak ingin bertanya lagi karena kemungkinan besar ini hal yang agak privasi. Kalau sudah waktunya Jay pasti akan memberi tahu.

Jadi untuk saat ini Monday akan diam saja dan menunggu Jay berbicara lebih dulu.

♤~♡~◇~♧

Jake sedang bersiap pergi ke rumah Jay. Tujuannya tak lain adalah belajar bersama.

Dia mengenakan kaos serta celana hitam lalu mengambil tas ranselnya.

Saat ia sudah berada di bawah, ayahnya memanggil.

"Jake"

Jake terkejut karena ayahnya berada di rumah. Biasanya beliau selalu bekerja setiap hari meskipun pada hari libur.

"Mau kemana?"

"Rumah Jay"

"Ngapain?"

"Belajar"

"Siapa-siapa yang pergi?"

Jake menghela napas. Ia serasa sedang di sidang padahal tidak melakukan apapun.

"Kenapa sih yah? Aku cuman mau belajar. Ada yang salah?"

"Cewek rambut pendek warna orange itu ikut juga?"

Jake tidak menjawab. Bagaimana ayahnya bisa tahu tentang Jiyoon?

"Cewek itu kerja di cafe dekat perusahaan kan? Kemarin ayah liat kamu goncengan dengan dia"

Sial.

Jake lupa kalau menuju ke rumah Jiyoon harus melewati perusahaan mereka.

Kalau ingat ia pasti akan mengambil jalan lain.

Lalu bagaimana pula orang ini tahu Jiyoon bekerja di cafe?

"Kenapa ayah tau itu?"

"Tentu saja ayah tahu. Cafe itu sering jadi tempat istirahat karyawan"

Jake merasa terpojok dan tidak tahu harus bicara apa lagi untuk menghindari pembicaraan ini.

"Bukannya ayah sudah bilang jangan berteman dengan orang kelas bawah? Kenapa kamu gak nurut sih!"

"Memangnya kenapa kalau berteman dengan mereka. Aku cuma mau punya teman kayak orang lain"

"Ayah masukkan kamu ke sekolah mahal itu supaya kamu punya teman yang sederajat dengan kita. Bukankah itu sudah cukup?"

"Aku gak peduli soal derajat kayak gitu. Aku mau berteman dengan siapapun tanpa membeda-bedakan. Kenapa ayah gak ngerti soal itu!?"

"Ini demi kehormatan kita sebagai keluarga terpandang. Kalau kita berteman dengan orang seperti gadis itu, harga diri keluarga kita mau disimpan di mana"

Jake merasa sangat tersinggung dengan perkataan ayahnya barusan. Kenapa ia berbicara seperti itu dengan entengnya.

Untuk Jake yang tahu bagaimana keadaan keluarga Jiyoon merasa sangat marah.

Ia ingin berteriak kepada ayahnya tapi dia tidak bisa. Selama ini yang bisa ia lakukan hanyalah melawan sedikit. Selebihnya ia hanya memendam amarahnya.

"Tapi yah.."

"CUKUP! Sekarang kamu masuk ke kamar. Belajar sendiri saja sudah cukup"

Jake ditarik ayahnya kembali ke dalam kamar. Lalu pintu kamar dikunci dari luar setelah Jake masuk ke dalam.

"Yah! Bukain!"

Jake terus memukul-mukul pintu sehingga menyebabkan suara berisik.

Tapi mau selama apapun dia seperti itu ayahnya tak kunjung membukakan pintu.

Jake melempar tas ranselnya kasar ke lantai. Lalu terduduk di depan pintu sambil menangis.

BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang