21

7 0 0
                                    


Inilah saatnya. Jake benar-benar ingin berbicara empat mata dengan ayahnya.

Ini sudah pukul sebelas malam. Biasanya dia sudah tidur jam segini. Tapi demi ini, dia rela untuk bergadang menunggu ayahnya pulang.

Jake berada di dalam kamarnya sedang mendengarkan musik. Sampai akhirnya dia mendengar suara pagar dibuka.

Jake langsung mematikan musiknya. Dia lalu keluar dari kamar untuk memastikan apakah itu benar ayahnya atau bukan.

Dan ya.

Ayahnya pulang bersama sang ibu.

Sebelum turun, Jake mengambil nafas terlebih dahulu. Perasaan takut dan cemas bercampur menjadi satu.

Saat sudah merasa dirinya siap, Jake turun ke bawah menghampiri ayahnya.

"Yah"

Sang ayah menoleh.

"Aku mau bicara. Sekarang"

Tanpa menunggu jawaban sang ayah, Jake sudah melenggang pergi ke ruang keluarga dan duduk di sofa.

"Bicara apa?"

"Aku mau keluar dari kampus itu"

Sanh ayah terkejut mendengar pernyataan anaknya.

"Keluar?"

"Aku gak mau kuliah disana dengan cara kayak gini. Apa yang ayah lakukan kepada pihak kampus sudah bocor. Aku gak mau lagi kuliah disana"

"Kamu bercanda? Kamu tau gak berapa uang yang sudah ayah pakai supaya kamu bisa masuk kesana? Dan kamu dengan entengnya bilang mau keluar?"

"Aku gak pernah minta ayah buat keluarin uang sebanyak itu. Kan aku udah bilang, aku gak suka kalau begini caranya"

Sang ayah menghela napas kasar.

"Kalau kamu gak mau, lalu kenapa kamu gak bisa lulus tes? Apa karena teman-teman kamu itu? Apa karena mereka nilai kamu jadi hancur?"

"Ini gak ada hubungannya dengan mereka. Aku gak lulus karena kondisi aku waktu itu gak bagus. Justru mereka yang bantu aku buat belajar"

"Ayah gak percaya. Pasti karena mereka kan"

"Gak! Mereka itu baik. Kenapa ayah selalu berpikir negatif soal mereka?"

"Oohh apa gara-gara mereka juga kamu mau keluar?"

"Udah aku bilang nggak"

"Nggak ini pasti gara-gara mereka. Mereka kan yang membocorkan soal ini? Mereka pasti diam-diam menusuk kamu dari belakang. Kan udah ayah bilang jangan berteman dengan mereka"

Jake merasa sangat tersinggung dengan perkataan ayahnya. Dan kenapa pula pembicaraannya jadi melenceng dari topik awal?

"Ayah tau gak apa yang barusan ayah bilang? Itu fitnah loh!"

"Gak. Ayah yakin ayah pasti benar"

Sudahlah, Jake sudah tidak tahan lagi.

Jake lalu berdiri dan mengambil vas bunga di atas meja. Lalu...

Prang

Sang ayah terkejut.

"Aku gak bisa terima perkataan ayah barusan"

Nada bicara Jake terasa sangat dingin. Ini pertama kalinya ayah mendengar nada bicara Jake yang seperti itu.

"Ayah bilang apa tadi? Mereka nusuk aku dari belakang? Omong kosong apa ini!!"

Suara Jake meninggi.

"Beraninya kamu meninggikan suara didepan ayah!"

"Aku udah gak tahan dengan semua ini!"

Jake menatap ayahnya dengan tatapan yang mengintimidasi.

"Aku mau jujur aja sekarang. Aku udah gak tahan dengan semua perlakuan ayah! Ayah selalu mengekang aku. Ayah gak pernah biarin aku bebas. Aku jadi menderita karena itu!"

"Ayah tau seberapa stressnya aku? Dan penyebab aku gak lulus itu GARA-GARA AYAH!"

"KARENA AYAH MENGURUNG AKU WAKTU ITU MAKANYA AKU STRESS. Waktu yang seharusnya ku pakai buat belajar jadi terbuang sia-sia"

"Dan ayah tau? Siapa yang menghibur aku? ORANG-ORANG YANG AYAH HINA ITULAH YANG MENGHIBUR AKU. Mereka selalu ada di sampingku. TIDAK SEPERTI KAU YANG SETIAP HARI MEMBUAT BEBAN KU BERTAMBAH!!"

Seisi rumah menyaksikan amarah Jake barusan. Mereka terkejut bukan main. Sang ibu yang juga menyaksikan, juga tak kalah kaget dan juga sedikit takut. Mereka tidak menyangka Jake bisa berubah seratus delapan puluh derajat kalau sudah marah.

"SEKALI LAGI KAU MENGHINA MEREKA, AKU TIDAK AKAN SEGAN-SEGAN LAGI!"

Jake pergi meninggalkan ruangan yang sudah berantakan itu dan ayahnya yang masih syok dengan perkataan Jake barusan.

Dia pergi mengambil jaket, kunci motor, lalu pergi dari rumah itu.

"JANGAN BERANI-BERANI KALIAN MENGIKUTIKU!"

Dua bodyguard yang ingin mengikuti Jake mematung. Tidak berani membantah Jake.

Jake menyalakan mesin motornya lalu pergi begitu saja.

●●●●●

Jake sampai di rumah Jay. Dia tidak tahu mau kemana makanya dia kemari.

Dia tidak tahu apakah Jay masih bangun atau tidak. Ini sudah jam setengah satu malam. Jadi tidak heran kalau tidak ada yang menjawab.

Jake membunyikan bel rumah Jay. Dia menunggu di depan pintu. Jake bisa mendengar suara dari dalam. Sepertinya itu Jay.

Pintu terbuka dan menampakkan Jay yang masih belum tidur.

"Jake? Lo ngapain malam-malam kesini?"

Jake tidak menjawab.

"Masuk"

Jake masuk ke dalam. Rumah ini sepi. Ya jelas. Semua orang sudah tidur kecuali Jay.

"Pasti ada sesuatu kan?"

Mereka berada di dalam kamar Jay. Jake duduk lesehan di lantai sedangkan Jay duduk di kasurnya.

"Kalau mau nangis, nangis aja gak papa"

Sedetik Jay berkata seperti itu, tangis Jake langsung pecah. Jay mendekat lalu mengelus pundak Jake.

Jay tahu apa yang barusan dialami Jake. Tanpa diceritakan dia sudah tahu. Karena yang menyarankan rencana itu dia. Dan dua gadis lain.

Jay lalu menyalakan ponselnya dan membuka sebuah ruang chat.

Ya, dia mengirimkan teks kepada Jiyoon. Dia meminta Jiyoon untuk datang esok pagi. Hanya Jiyoon lah yang sekarang bisa menenangkan Jake.

BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang