Ꮯhᥲρtꫀɾ Ꭰᥙᥲ ρᥙᥣᥙh Ⲋꫀꪑᖯเᥣᥲᥒ

2.2K 190 4
                                    

Adiba mendengus sangat kesal, sampai lebih dari pukul 01:00 am Adiba menunggu Jeno. Tapi pria itu sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.

Sangat aneh!

Semua rencananya dengan Akhtar dan Meysa gagal total. Padahal mereka telah menyiapkan semuanya dengan sangat detail.

Mulai dari CCTV di setiap penjuru, sampai sekitar belasan bodyguard dari yang bekerja untuk Meysa mereka siapkan karena khawatir jika nantinya Adiba kenapa-napa.

Tapi faktanya, mereka gagal!
Jeno tidak datang sama sekali.

Saat ini, Adiba, Akhtar dan Meysa baru saja tiba di rumah Meysa.
Adiba dan Akhtar meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk menginap di rumah Meysa semalam karena sebuah tugas sekolah.
Tidak ingin berbohong, Adiba benar-benar mengerjakan tugas sekolahnya saat dini hari seperti ini.

"Lo rajin banget, Ihan. Padahal itu tugas dikumpulin minggu depan," ujar Akhtar menggoda Adiba.

Adiba berdecak pelan.
"Gue nggak ingin berbohong sama papa makanya gue beneran ngerjain tugas sekarang."

"Memang calon istri idaman!" balas Akhtar.

Adiba berusaha untuk bersikap biasa saja mendengarkan perkataan pria itu.
"Udah lo tidur aja sana! Jangan ganggu gue!" ketusnya.

"Nggak mau! Gue pengen habisin malam ini sama ko, Ihan!"

"Astaghfirullah! Jaga omongan lo, ya!" balas Adiba.

"Lahh? Emang gue salah, ya?" tanya Akhtar.

Adiba tidak jadi membalas perkataan pria itu karena melihat Meysa yang baru saja datang seraya membawa tiga mangkuk mie rebus dengan menggunakan nampan.

"Nih, gue masakin mie buat jernihin pikiran kalian malam ini," ujar Meysa setelah menaruh nampan tersebut di meja.

"Tapi gue heran, ya. Kenapa Jeno nggak datang padahal ini kesempatan yang bagus buat habisin, Adiba," ujar Akhtar setelah mengambil semangkuk mie tersebut.

Takk!

Pulpen yang sedang dipegang Adiba langsung melayang ke jidat Akhtar.

Meysa tertawa terbahak-bahak sedangkan Akhtar mengaduh kesakitan.

"Kata-kata lo nggak difilter!" ujar Adiba pada Akhtar.
"Balikin pulpen gue sini," lanjutnya.

Akhtar langsung memberikan pulpen tersebut dengan cara melemparkannya pelan sehingga Adiba dengan mudah menangkapnya.

"Tapi gue juga heran kenapa Jeno nggak datang, ya?" Itu suara Meysa.

"Gue berpikir mungkin kita emang udah salah sangka sama Jeno. Mungkin dia emang bukan pelakunya," sahut Adiba.

"Kalau dia bukan pelakunya, masa si Alpin bohong, sih?"

🔪🔪🔪

"Assalamualaikum, Papa Adiba pulang!" teriak Adiba memenuhi ruangan.

"Waalaikumussalam, Nak."

"Aida mana, Pa?" tanya Adiba.

"Dia lagi tidur," jawab Kenan.

"Papa udah makan?"

"Udah, Sayang."

"Yaudah, Adiba ke kamar dulu ya mau istirahat."

"Duduk di sini dulu, Nak. Ada yang pengin papa sampein ke kamu."

Adiba langsung melangkah ke arah sofa tempat papanya berada. Gadis itu duduk di samping papanya.

"Kamu sekarang udah sangat dewasa ya, Adiba."

Adiba hanya tersenyum membalas perkataan papanya.

"Papa ingin kamu memiliki pasangan hidup. Papa ingin melihat kamu menikah sebelum Papa menyusul mamamu."

Adiba menggeleng keras mendengarkan perkataan Kenan.
"Papa jangan ngomong kayak gitu, Adiba nggak suka. Adiba akan selalu bersama-sama dengan Papa dan Aida."

"Tidak mungkin, Sayang. Kamu itu adalah anak perempuan yang sudah dewasa. Ada saatnya kamu akan meninggalkan Pap ke rumah suamimu," balas Kenan.

"Yaudah, kalau aku nikah aku bakal tinggal di rumah Papa."

Kenan tertawa mendengarkan perkataan putrinya.
"Sebenarnya, jika kamu mau Papa ingin kamu menikah beberapa minggu lagi."

Tentu saja Adiba sangat terkejut mendengarkan perkataan papanya.

"Umur tidak ada yang tau Adiba, Papa takut sebelum Papa...."

"Jangan diterusin, Pa! Adiba nggak suka," Adiba memotong perkataan Kenan.
"Adiba masih sekolah, Pa. Adiba belum lulus SMA," lanjut Adiba.

"Kamu bakal lulus kurang lebih 4 bulan lagi Adiba, itu tidak akan menjadi masalah. Dan jika kamu tetap takut, kita bisa melangsungkan pernikahan secara siri."

Adiba menggeleng keras. Ia masih ragu. Ia bingung bagaimana papanya mendapatkan pemikiran semacam ini.

"Papa nggak pernah minta sesuatu sama kamu, Adiba. Papa minta tolong sama kamu untuk terima perjodohan ini. Papa hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Sayang."

Perjodohan?

Adiba bingung. Adiba tidak tau harus membalas apa.

Ia tidak tau siapa pria yang dijodohkan dengannya.
Tapi melihat Kenan yang berkata seperti itu, membuat Adiba tidak enak jika menolak.
Memang Kenan tidak pernah minta apa-apa selama ini pada Adiba.
Melihat Papanya yang sangat berharap padanya, Adiba tidak kuasa untuk menolak.

"Pria yang papa jodohkan dengan kamu sudah membeli rumah di sebelah, berarti jika kamu menikah dengan dia Papa akan senantiasa bisa melihat kamu, Nak."

Adiba tidak tau siapa yang dimaksud papanya. Tapi siapapun itu semoga dia yang terbaik.

"Pa, tapi aku nggak tau siapa pria yang dimaksud sama Papa."

"Kamu kenal dia, Adiba. Papa yakin kamu juga menyukai dia," jawab Kenan.

Adiba kenal dia.

Siapa itu.

Tapi didalam lubuk hati kecil Adiba, ia berharap itu Akhtar.
Apalagi Akhtar beberapa hari lalu mengatakan perasaannya yang sebenarnya kepada Adiba.
Adiba semakin berharap jika memang Akhtar.

"Tolong, kamu jangan menolak," lanjut Kenan sangat berharap kepada putrinya.

Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, Adiba akhirnya mengangguk singkat untuk menyetujui perkataan papanya.

Kenan terlihat sangat bahagia, ia langsung memeluk putrinya.

"Makasih, Nak. Kamu memang tidak pernah sama sekali mengecewakan Papa. Papa ngelakuin semua ini karena sayang sama kamu." Kenan mencium kening putrinya.

"Papa, jika boleh tau, pria yang akan dijodohkan dengan Adiba itu siapa?" tanya Adiba.

"Kamu akan tau malam ini. Papa yakin kamu juga suka dia."






________________

Tbc

Psikopat & Muslimah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang