Ꮯhᥲρtꫀɾ Ꭰᥙᥲ ρᥙᥣᥙh Ꭲᥙjᥙh

2.2K 181 1
                                    

Meysa berjalan melewati koridor sekolah bersama Adiba. Setelah beberapa hari tidak masuk, hari ini Meysa memberanikan diri untuk masuk sekolah.

Sebenarnya ia cukup ragu hari ini, hanya saja Adiba mengatakan bahwa Meysa harus berani mengahadapi semuanya. Adiba akan menemaninya. Adiba akan melindunginya.

Baru saja memasuki kelas, semua teman-teman kelasnya menatap Meysa seperti jijik. Meysa menelan salivanya susah payah melihat semua itu.

"Gila, ternyata lo nggak punya harga diri sampai berangkat bareng Adiba yang udah lo teror!" Suara itu membuat Adiba dan Meysa menghentikan langkahnya.

"Please ... semuanya! Meysa nggak bersalah. Dia nggak pernah neror gue, Meysa cuma dijebak," teriak Adiba cukup keras.

"Apa buktinya kalau dia dijebak, paling itu cuma akal-akalan Meysa aja, Adiba. Dia itu musuh dalam selimut!"

Adiba menggeleng keras mendengar perkataan teman kelasnya.
"Nggak. Itu nggak benar. Gue bakal buktiin ke kalian semua kalau Meysa itu dijebak. Jadi, please, sebelum semuanya terungkap gue nggak mau dengar ada yang ngatain sahabat gue, Meysa!" tegas Adiba.

🔪🔪🔪

Atha menahan diri untuk tidak berperilaku kasar kepada Meysa. Sebenarnya Atha masih yakin jika Meysa terlibat dalam semua itu. Hanya saja, Atha telah berjanji kepada Adiba jika ia tidak akan menyentuh Meysa sampai semuanya benar-benar terungkap.

Atha masih memikirkan siapakah orang terdekatnya yang Adiba maksud. Atha merasa hanya kakek Gibran dan Adiba lah orang terdekatnya.
Atha tidak memiliki siapa-siapa lagi selain mereka berdua. Manusia lainnya hanya sebagai pelengkap untuk kesenangan Atha.

Atha melirik Jeno.
"Jeno?" panggilnya.

"Iya, Tuan?"

"Gue pengen nanya sesuatu, menurut lo orang terdekat gue siapa?" tanya Atha.

"Kakek Gibran," jawab Jeno. Pria itu sedang menulis rangkuman fisika di buku catatannya, itu sebabnya Jeno berbicara tanpa menatap Atha.

"Selain kakek menurut lo siapa?" tanya Atha lagi.

Jeno merasa heran dengan pertanyaan yang Atha berikan padanya.

Aneh.

"Jika boleh tau, kenapa Tuan menanyakan itu?" tanya Jeno penasaran.

"Pagi kemarin, Adiba bilang sama gue kalau yang neror dia itu bukan Meysa, tapi orang terdekat gue."

Takk!

Tepat saat Atha mengatakan itu, pulpen yang Jeno gunakan langsung terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.

Ekspresi pria itu sangat sulit dijabarkan.

Sedangkan Atha, ia merasa tidak peduli. Atha sibuk dengan semua pertanyaan di dalam pikirannya.

🔪🔪🔪

Adiba tidak suka ini. Kenapa dari tadi dirinya terus saja malu karena tidak sengaja eye contact dengan Akhtar.

Sejak perkataan pria itu kemarin, Adiba terus menghindari untuk berpapasan dengan Akhtar.
Entahlah, Adiba tidak tau.
Gadis itu hanya tidak tau bagaimana caranya ia berinteraksi dengan Akhtar.

Adiba gugup.

Tidak tau harus apa.

"Adiba, Akhtar dari tadi liatin lo sambil senyam-senyum nggak jelas. Kayaknya tuh anak sengaja kayak gitu sama lo."

Perkataan Meysa membuyarkan pikiran Adiba.

Adiba mendengus kecil karena tingkah Akhtar padanya.
"Iya, ihh. Gue nggak suka dia kayak gini ke gue. Gue nggak tau harus apa. Gue gugup liat dia," ujar Adiba.

Psikopat & Muslimah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang