Bingkai Enam

451 82 16
                                    

Angin semilir berasal dari pepohonan yang menjulang tinggi menyapa kulit Jeressa yang saat ini tengah duduk disamping gundukan tanah bertabur bunga. Setelah doa ia panjatkan, dirinya menyilangkan kaki, duduk dengan beralaskan secarik kain kecil yang selalu ia bawa ketika mengunjungi makan sang ibunda.

Tanpa berlama-lama dan dengan tidak sabarnya, Jeressa Aruby mulai berbagi cerita...

"Sore ma." Sapanya seraya tangannya aktif menata taburan bunga dirumah terakhir sang ibunda. "Mama apa kabar? Pasti baik-baik aja kan ya?"

"Ma.." Ia menjeda kalimatnya. "Jeresa sebentar lagi semester tujuh. Doain ya ma, semoga Jeressa bisa selesain kuliah tiga setengah tahun."

"Doain juga aku bisa jadi director paling hebat di Indonesia." Katanya lalu tertawa, "tolong bantu sampaikan ya ma, biar doa Jeressa cepat kekabul." Lagi-lagi Jeressa menjeda kala angin juga menyapa, "Ma, nggak kerasa kita udah lama nggak ketemu ya? Waktu itu mama dateng ke mimpi aku cuma senyum doang terus pergi lagi, padahal aku maunya kita ngobrol... cuma di mimpi Jeressa bisa ngobrol sama mama, peluk mama."

Angin makin berhembus dengan kencang, menambah kesejukkan yang menimbulkan sebuah kenyamanan. Jeressa terdiam sejenak, mengumpulkan tenaga juga kekuatan di hati yang sebenarnya sudah mulai lemah saat dirinya menginjakkan kaki di tanah peristirahatan terakhir sang ibunda.

"Jeressa kangen sama mama," kalimat itu akhirnya keluar untuk yang kesekian kalinya. Kalimat yang selalu berhasil menyulut rasa emosional bernama kesedihan. Air matanya jatuh, segera Jeressa hapus dengan seulas senyuman. "Maaf ma, air matanya nggak bisa diajak kompromi," dan Jeressa tertawa miris. "Kenapa malam itu mama dateng ke mimpi aku cuman senyum aja? Kenapa nggak samperin aku? Apa karena ada papa sama tante Rana disana? Makanya mama nggak samperin aku? Apa mama sengaja biar aku sama-sama mereka?" Tanyanya yang sudah pasti tidak akan menerima sebuah jawaban. "Maaf kalau Jeressa belum bisa sepenuhnya menerima keadaan yang harusnya Jeressa terima dengan lapang. Mama segalanya bagi Jeressa, dan aku- aku nggak mau ada mama lain, aku maunya mama, mama kandung Jeressa." Tangisnya pecah tak terbendung, mengeluarkan segala sesak akibat kenyataan dan takdir yang tidak bisa ia rubah. "Jeressa mau peluk mama.... Jeressa kangen mama."

Jeressa benci dirinya yang tidak bisa menerima kenyataan, tidak bisa berdamai bahkan benci ketika dirinya sampai saat ini masih berhenti di titik yang sama. Ia tahu bahwa papanya perlu membangun kebahagiaannya kembali, ia tahu itu. Tapi meskipun begitu, egonya masih saja mendominasi dirinya, enggan lepas dan menjauh dari kata keikhlasan dan menerima kenyataan.

Jeressa mengusap wajahnya yang penuh derai airmata, kembali mendongak lalu menyentuh batu nisan sang ibunda. "Jeressa janji akan hidup dengan baik ma. Aku pulang ya ma, jangan lupa datang ke mimpi Jeressa lagi." Pintanya.

"Jeressa sayang mama."

***

Jeressa merebah diri di sofa setelah selesai menyelesaikan kegiatannya hari ini, mengunjungi makam sang ibunda, menyelesaikan pekerjaan rumah, dan perempuan itu baru saja selesai memasak untuk dirinya sendiri. Jeressa berniat beristirahat sebentar sebelum dia menyantap makanannya.

Tangan kanannya ia arahkan untuk menutupi sebagian wajahnya, hingga pergerakan dari tangannya itu membuat dahinya bergesekan dengan sesuatu yang menempel dipergelangan tangannya- plester luka. Jeressa menatap plester luka itu dengan lamat, ingatannya masih sangat jelas ketika lelaki itu dengan telaten mengobati tangannya bahkan singgah di apartemennya.

Kedua sahabatnya bahkan tidak tahu tentang itu, mereka hanya tahu satu fakta jika Jeressa pulang lebih awal karena Jayden berulah, tidak tahu ada peran Bara disana.

SOLITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang