Bingkai Sepuluh

405 75 6
                                    

"Je, run down talk show udah?" Tanya Wendelyn begitu suapan ketiga masuk kedalam mulutnya.

Saat ini mereka berada ditaman fakultas ilmu komunikasi, ditemani dengan tiga gelas minuman bubble dan juga chicken rice bowl ditangan mereka. Saat sore begini, dan malas untuk pulang cepat, bersantai di taman menjadi salah satu pilihan mereka bertiga.

"Masih delapan puluh persen. Besok aja kelarinya, mager gue."

"Sama. Ini si Boby tumbenan banget udah selesai duluan tugasnya." Yang dibicarakan hanya diam, karena saat ini kedua telinganya tersumpal earphone seraya memainkan game diponselnya. Si Boby terlalu fokus!

"Minggu ini lo kerumah bocap lo lagi Je?"

"Nggak tau deh, kemarin kan karena oma'nya Risha sakit, jadi gue kesana. Sekarang kayaknya keadaannya udah membaik."

Wendelyn merespon dengan anggukan kepalanya, lalu menatap bebas beberapa pohon yang rantingnya goyang tertiup angin. "Je, lo nggak ngerasa kesepian apa? Bertahun-tahun di apart sendirian. Kenapa nggak terima tawaran bocap lo buat tinggal bareng? Kan lebih seru, lebih hidup suasananya."

Jeressa mendesah pelan, lalu kembali mengingat moment dimana ia pernah merasa kesepian, tapi terkadang dia juga merasa bahwa tinggal sendirian adalah pilihan yang terbaik. Meskipun tak memungkiri bahwa sebenarnya ia butuh orang lain disekitarnya, satu atap dengannya. "Belum waktunya Lyn." jawabnya sekenanya.

Wendelyn menepuk pelan bahu Jeressa kemudian kembali melanjutkan kegiatan makannya.

Mereka berada disana sampai pukul empat sore, dan saat ini mereka semua sudah kembali kerumah masing-masing. Jeressa menghempaskan tubuhnya di ranjang kemudian melirik ke arah nakas dimana diatas sana ada satu buah undangan pertunangan resmi seseorang yang berhasil mematahkan harapan dan kepercayaannya.

Arga-satu nama yang beberapa minggu lalu berhasil menyulut rasa sakit dalam dirinya. Kini kembali ke Indonesia untuk menggelar acara pertunangan resmi dan dengan tanpa rasa bersalahnya, dia memberikkan sebuah undangan melalui papanya untuk dirinya.

Bohong jika dia baik-baik saja, meskipun masih bisa menguatkan diri, tapi dirinya tak luput juga dari rasa sakit hati. Arga yang dulu menjadi sahabat sekaligus cinta dan pacar pertamanya harus rela mengikuti keinginan orangtuanya untuk pindah ke London. Lelaki itu berjanji untuk tetap menjaga hubungan dan selalu ada untuk Jeressa meskipun jarak jadi penghalang, tapi semua itu ternyata hanya bualan belaka.

Awalnya komunikasi begitu lancar, hingga pada akhirnya jarak semakin jauh dan tak ada lagi dering sapa yang selalu menjadi rutinitas mereka. Arganya menghilang, meninggalkan Jeressa yang bahkan saat itu tengah merasa kehilangan. Hingga pada akhirnya Arganya datang dengan kabar yang sanggup meruntuhkan segala harapan juga kepercayaan yang selama ini Jeressa pertahankan selama bertahun-tahun.

Jeressa, perempuan itu nyatanya ditinggalkan tanpa adanya sebuah penjelasan dari seorang Arga.

Tubuhnya masih berbaring dengan kaki menjuntai kebawah, dan selang beberapa detik, ponselnya berdering, memunculkan satu nama yang akhir-akhir ini cukup membuatnya kesal dan naik darah.

Orang rese! - Begitu nama yang terpampang dilayar ponsel Jeressa.

"Hai..."

"What do u want?" Tanya Jeressa to the point, begitu panggilannya ia angkat.

"Galak banget."

"Perlu gue tanya dua kali ya?"

"Risha wants to talk to you. She misses you."

"Risha?"

"Hm, ini lagi main sama gue, sama Lucy." Dan Jeressa bisa mendengar kalau Bara tengah memanggil adiknya. "Risa sini, katanya mau ngobrol sama kak Ruby."

SOLITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang