Bingkai Tujuh Belas

228 47 6
                                    

Kurang lebih sudah empat tahun berlalu semenjak kejadian naas yang menimpa Remania Hastari Herlambang, mendiang ibunda Jeressa.

Saat itu, Remania dalam perjalanan pulang selepas menghadiri acara pertunangan anak dari kerabat kuliahnya dahulu, sekaligus berniat menjemput Jeressa yang sudah selesai mengikuti ekskul Jurnalistik. Namun dalam perjalanannya, hujan lebat tiba-tiba datang mengguyur, membuat pandangan Remania sedikit terganggu karena embun juga datang menyelimuti.

Remania mengendarai mobil dengan sangat hati-hati pada saat itu.

Namun, pernah mendengar perkataan seperti ini? Terkadang kita sudah hati-hati namun orang lain tak hati-hati.

Kira-kira seperti itu.

Dengan kehati-hatiannya, nyatanya tak membawa Remania dalam keselamatan. Remania yang tengah menunggu lampu lalu lintas berganti hijau tak pernah tau jika saat dirinya mulai menginjak pedal gas, didepan sana sudah ada hal buruk yang menanti.

Berada dibarisan paling depan, hal itu membuat mobilnya dengan mudah terhantam kendaraan lain yang melaju dengan sangat kencang dari arah sebelah kanan. Jalanan yang dekat dengan persimpangan membuat kendaraan lain menghantam milik Remania dengan sempurna.

Kedua mobil itu terguling, juga menghantam beberapa kendaraan lain yang ada disana. Namun, kondisi kedua mobil itulah yang paling mengenaskan, terlebih Remania yang memang notabennya secara fisik ukuran kendaraannya kalah dari mobil yang menghantamnya.

Hujan lebat pun sekarang tak dihiraukan orang-orang disana, sebagian yang luka-luka kecil langsung mendapat pertolongan, lalu sebagiannya lagi berbondong menolong Remania juga orang yang berada dimobil satunya lagi dengan sigap. Keduanya terhimpit mengingat mobil keduanya juga terbalik.

Kecelakaan itu langsung menarik atensi disana dan juga menciptakan kemacetan yang luar biasa.

Jeressa?? Dia sedang menunggu dengan gundah, pasalnya sang ibunda susah untuk dia hubungi, diapun sudah menunggu lumayan lama namun kabar dari ibunya tak kunjung ada. Saat itu, kegelisahan Jeressa terpecahkan saat pak Dito, satpam sekolahnya lari mengambil sebuah payung seraya berteriak ke arah rekan kerjanya.

"Pak, pak, di perempatan depan sana ada kecelakaan. Denger suaranya nggak tadi? Mau liat dulu saya pak. Nitip pos ya pak."

Perkataan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya itu seharusnya tak berefek apa-apa kan? Tapi entah kenapa jantungnya berdegup kencang mendengarnya, dan lagi bertambah tak karuan saat ponselnya berbunyi, memunculkan telfon dari salah satu teman kelasnya.

"Je, masih di sekolah?" Yang disana bertanya dengan nada terkesan khawatir.

"Iya." Sangat pelan dan serak saat Jeressa menjawab.

"JE," ada sedikit jeda disana. "GUE LIAT MOBIL NYOCAP LO DI PEREMPATAN. MAMA LO JE!"

Jantungnya berdegup kecang, tenaganya menguap keluar begitu saja, tubuhnya juga seketika serasa tak memiliki tulang. Jeressa mengabaikan temannya yang masih berusaha untuk tetap berkomunikasi disaat Jeressa sudah tak memiliki tenanga untuk merespon. Tanpa mematikan telfonnya ia berusaha sekuat mungkin untuk memiliki tenanga, setidaknya agar dia bisa melihat sebenarnya apa yang terjadi disana.

Benarkah mamanya? Atau orang lain?

Dan saat itu pula Pak Dito, satpam yang tadi pergi untuk melihat kecelakaan kembali ke sekolah dengan nafas tersenggal. "Neng, mamanya neng."

Jeressa benar-benar sudah tak sanggung mengatakan apa-apa saat itu. Tangisnya mendadak luruh, raut wajahya linglung, ia bahkan tak tau harus berbuat apa saat itu.

"Pak..." Lirihnya menatap kearah dua satpam itu seakaan minta pertolongan sesuatu.

Sekuat tenanga mereka membantu Jeressa pergi menuju tempat kejadian. Tangisnya kian pecah disaat ia melihat orang-orang berusaha untuk mengeluarkan sang ibunda dari dalam mobil. Teriakannya menggelegar bersahutan dengan suara petir dihujan yang kian deras, tubuh menggigilnya pun tak ia hiraukan.

SOLITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang