Dulu, Jeressa Aruby berpikir bahwa menginjakkan kaki di bangku kuliah sangatlah menyenangkan, tidak perlu mengenakan seragam- dan bisa memakai pakaian sesuai keinginan sendiri, tidak perlu berangkat setiap hari, bertemu orang baru, dan rasanya terlihat keren ketika berjalan dengan menenteng sebuah laptop atau makalah tebal ditangan. Semua bayangan itu seakan mengesankan dan menarik diri Jeressa untuk tak sabar lulus sekolah menengah atas. Hingga akhirnya sekarang dirinya menjadi seorang mahasiswi, melewati berbagai macam perasaan emosi dengan setumpuk tugas yang cukup menguras waktu, tenaga dan pikirannya. Angannya dulu membuat ia menutup kemungkinan bahwa semakin tinggi pendidikan akan semakin sulit pula rintangannya.
Ya, dia melupakan kenyataan itu.
Satu makalah berisi bab satu sampai tiga Jeressa singkirkan, lalu melirik Wendelyn dan Boby yang justru tengah merebah diri di sofa dan berkutat dengan ponselnya. Padahal, tugasnya tinggal sepuluh persen lagi untuk mencapai tahap akhir. Tapi mereka ??? Justru berleha-leha.
Membiarkan Wendelyn dan Boby yang asik dengan dunianya sendiri, Jeressa merebah diri di atas ranjangnya, memejam matanya seraya mengingat kejadian kemarin yang sempat membuat dirinya bertanya-tanya meskipun sebenarnya bukan hal penting sampai berani-beraninya menganggu pikirannya.
Kemarin- saat Wendelyn sibuk ditanyai beberapa teman Loey perihal persoalannya dengan Jayden, Jeressa menangkap jika netra seorang Bara tengah menatapnya. Seperti sedang memastikan sesuatu, terlihat saat Bara menelisik dengan gerakan mata dari bawah hingga atas dan itu cukup menganggu bagi Jeressa. Dan bagaimana bisa dia melihat dengan pandangan seperti itu??
"Oh my godness!" Pekik Wendelyn tiba-tiba, membuyarkan segala hal yang ada di pikiran Jeressa. "Mata gue emang nggak pernah salah. Dia ganteng banget, Je." ungkapnya lalu menoleh ke arah Boby, menunjukkan sesuatu kepadanya. "Nih Bob.., ganteng kan?"
"Siapa? Loey?" Jeressa berkata seperti itu karena kemarin Wendelyn sempat membahas tentang Loey. Lelaki berbadan tinggi itu.
"Idih, ya Bara lah! Gue nggak tertarik sama cowo yang terlalu tinggi!"
"Kan Bara juga tinggi," kata Boby.
"Masih tinggian Loey, kalo Bara itu tingginya pas."
"Biasanya yang kayak gitu akan berujung tertarik, terus jatuh hati deh-seperti benci jadi cinta, kira-kira kayak itu." Seloroh Jeressa.
"Itu cuma mitos. Gue nggak percaya sama hal kayak itu- Wow! Nih liat," Wendelyn menunjukkan sekilas tampilan layar yang terlihat aesthetic meskipun hanya bebera detik. Foto laki-laki mengenakan setelan jas yang Jeressa yakini pemilik akunnya adalah Bara, lelaki yang sedang Wendelyn bicarakan sekarang. "No debat, ganteng banget!"
Jeressa hanya bergumam tak tertarik, kemudian membiarkan Wendelyn dan Boby yang semakin asik dengan kegiatan menguntitnya. Bahkan dengan rela tak rela telinganya diberikan asupan celotehan yang menurut Jeressa tidak penting. Seperti membuang-buang waktu hingga lalai akan tugas hanya karena mengagumi seseorang, bahkan orang itu tidak mengenalmu, atau tidak tau rupamu. Ya... meskipun secara teknis kemarin Bara dan kawan-kawannya sempat melihat mereka, tapi Jeressa yakin seribu persen bahwa lelaki itu tidak mengenal Wendelyn, Boby ataupun dirinya.
"Wendelyn Mora dan Iputu Boby Naputra sebaiknya pakai waktu kalian sebaik mungkin. Liatin foto Bara, Loey atau siapalah itu, nggak akan ngebuat tugas kalian selesai secara magic. Jadi stop stalking-stalking. Kelarin tugasnya!" Jeressa berkata seperti itu seraya kakinya ia langkahkan menuju pantry, lalu abai dengan Wendelyn dan Boby yang semakin sibuk memburu ketampanan dengan ungkapan-ungkapan alay-nya selagi dirinya sibuk mengeluarkan bahan untuk membuat makanan- spaghetti. Dan sialnya! Gas dalam tabung seperti mengajak perang hari ini, habis di waktu yang tidak tepat disaat sang pemilik perutnya tengah berontak minta diberi asupan gizi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLITUDE
Fanfiction║Follow u/ update info dan cerita baru. ║Cover by Monolatte ║✎ Feb 2021 ║DILARANG MEM-PLAGIAT !!! ********************** Jeressa, perempuan yang mengaku takut akan kesendirian juga kesepian justru memutuskan untuk hidup sendirian. Mencoba abai da...