•Prologos•

1.4K 123 10
                                    

Mata yang menyiratkan luka masih setia mengeluarkan air mata tanpa sepatah kata. Jeressa Aruby-gadis itu menatap nisan bertuliskan Remania Hastari Herlambang binti Randu Herlambang dengan tatapan kosong.

Jeressa tak pernah tau bahwa waktu ternyata mampu sekejam itu padanya, meluruhkan segala kenangan indah serta rasa bahagia yang sedari lama bersarang dalam dirinya.

Meskipun tersisa seorang Handanu Wijaya sebagai sosok Ayahnya. Baginya, semuanya tak lagi sama seperti yang lalu. Bahkan setelah delapan belas bulan berlalu, rasanya masih sama, menyakitkan.

Dirinya benar-benar terlihat seperti berjalan hanya dengan satu kaki. Dan semua hal yang ia takuti nyatanya terjadi, karena selain kesepian, hal lain yang paling Jeressa takuti dalam dunia ini adalah kesendirian.

Meskipun begitu, nyatanya keputusan yang Jeressa ambil saat ini adalah hidup seorang diri. Seakan mengasingkan diri dari ayahnya, dari segala hal baru yang ayahnya bawa, dan dari skenario baru yang belum siap ia terima.

Hidup sendirian adalah pilihan terbaik bagi Jeressa saat ini. Perempuan berparas ayu itu lebih memilih memanfaatkan waktu dengan segala hal yang ia suka dibandingkan harus berusaha menerima segala hal yang ayahnya datangkan- pengganti mamanya. Jeressa masih belum siap menerima hal itu, entah sampai kapan.

"Kamu yakin bisa tinggal seorang diri?" Handanu menatap khawatir pada anak semata wayangnya. "kamu baru mau memasuki semester satu."

"Yakin, pa. Papa tidak perlu khawatir, aku mau coba hidup mandiri."

"Yakin kamu tidak ingin tinggal bersama papa? Bersama-"

"Di luar sana banyak orang dari berbagai daerah harus menetap sendirian agar bisa kuliah ditempat yang mereka mau, pa."

"Kamu beda, kamu masuk universitas di kota yang sama. Ada papa disini, kenapa harus tinggal sendiri disaat papa ada?" katanya dengan sedikit penekanan dan ada nada kesedihan didalam sana. "Kalau alasannya adalah tante Rana, cobalah pelan pelan kamu terima."

"Satu tahun lebih bukan waktu yang singkat pa." Ujarnya pelan, "Aku tahu ini pilihan hidup papa, aku tidak berhak melarang. Meskipun iya, aku pikir penolakanku tidak akan bisa papa kabulkan, bahkan jika aku harus pergi jauh dari kota ini."

"Arub-"

"Apa menurut papa seorang anak akan menerima papanya menikah lagi bahkan waktu itu kepergian mama baru saja menginjak bulan ke sepuluh? Aku rasa nggak, pa." Jeressa meringis pelan, sedikit mengasihani diri sendiri juga rasa kesal yang menggebu. Tapi berteriak atau marah tidak bisa ia lakukan pada papa-nya itu. "Ini sudah lebih dari satu tahun, aku bahkan masih belum bisa menerimanya..."

"Aruby, kita hidup perlu melihat kedepan. Menata hal baru juga harus bisa mengubur kesedihan. Papa tidak mau kamu terlalu larut atas kepergian mama. Mama juga akan sedih kalau melihat kamu seperti ini, sayang."

Jeressa menggeleng pelan, antara setuju namun menolak hati untuk setuju. "Papa nggak ngerti," katanya lirih. "Apa papa bahagia dengan keluarga papa sekarang?" Jeressa bertanya namun masih dengan kepala yang menunduk. Serasa tidak siap harus menunjukkan ekspresi seperti apa ketika ayahnya nanti menjawab dengan jawaban yang ia pikirkan dalam benaknya.

"Ya," Handanu menjawab lirih, membuat Jeressa tersenyum kecut dan berpikir, apakah hanya dia saja yang tidak bahagia? Jadi harus menyalahkan siapa?  "Tapi tidak tanpa kamu Aruby," lanjutnya. "Papa ingin kita bahagia bersama."

"Berapa umur kandungannya?" Entah mengapa Jeressa menanyakan hal itu.

Handanu diam sejenak, lalu menjawab pertanyaan anaknya semata wayangnya. "Jalan tujuh bulan," Jeressa mengangguk.

"Tidak perlu khawatir, dan tidak perlu menjenguk aku setiap hari, minggu, atau bulan, pa. Aku tahu papa sibuk dengan kehidupan yang baru." Jeressa bergeming sejenak, memikirkan segala hal yang tercampur aduk dalam otaknya, lalu menatap Handanu Wijaya dengan yakin dan penuh penegasan. "Maaf, aku tahu aku anak papa. Tapi papa juga tidak bisa memaksakan kehendakku- Aku sudah dewasa, bukan lagi Jeressa Aruby yang masih merengek jiks ingin sesuatu. Aku berharap papa mau menerima keputusanku."

Handanu Wijaya mendesah pelan, mengusap wajahnya kasar dengan hati yang penuh kebimbangan. Dia menyayangi keduanya, menyayangi Jeressa Aruby, namun dia juga menyayangi Kirana Ramitri - pendamping hidupnya yang baru, terlebih sudah ada putri kecil yang tumbuh. Dia ingin anaknya nanti dan juga Jeressa bisa menjadi sepasang kakak dan adik yang saling menyayangi. Dan rasanya ia gagal jika harus membiarkan Jeressa hidup sendirian.

"Kemari sayang." Handanu merentangkan tangannya, menyuruh Jeressa untuk menghambur dalam pelukaannya. Beharap anaknya itu memahami bahwa betapa seorang Handanu menyayangi Jeressa.

"Jaga diri baik-baik," Katanya dalam engkuhan itu.

"hm."

"Jangan telat makan."

"hm."

"Jangan terlalu sering memakan mie." Jeressa sedikit teretawa. "Papa tahu itu makanan kesukaan kamu, tapi jangan terlalu sering."

"Akan aku usahakan pa."

"Dan jangan melarang papa kalau papa ingin bertemu. Mengerti?'

"Aku mengerti pa."



HERE WE GO
__________○●○__________

HERE WE GO__________○●○__________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Sejeong as Jeressa Aruby



Oh Sehun as Xabara Axelindo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oh Sehun as Xabara Axelindo

SOLITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang