Razia

1.1K 130 32
                                    

🌻🌻🌻

"Kamu mau ngomong apa? Udah tiga puluh menit kita di sini, dan kamu cuma diem," Cantika mulai bosan. Melirik Azka yang sedari tadi hanya menunduk, sesekali mengaduk kapucino-nya.

Azka berdeham. "Maaf, ya. Sebenernya saya lagi mikir gimana cara ngomongnya biar nggak salah."

"Yaudah ngomong aja. Aku bukan tipe orang yang mudah tersinggung."

Azka mengangguk. "Saya mau minta maaf sebelumnya. Tentang perjodohan kita, apa kamu yakin mau dilanjutin?"

Cantika berpikir sebentar. "Emang kenapa? Kamu mau batalin?"

"Bukannya begitu. Tapi..." Azka menjeda kalimatnya, ia jadi tak enak sendiri.

"Tapi saya minta maaf. Sepertinya saya sudah menaruh hati pada perempuan lain. Saya tau ini salah, tapi..."

"Nggak kok, nggak ada yang salah." perempuan berjilbab abu-abu itu tersenyum.

Azka sendiri refleks menatapnya.

"Nanti kamu ke rumah aja. Bilang sendiri sama Abi kalo mau ngebatalin perjodohan kita."

"Kamu nggak keberatan?"

"Justru aku keberatan kalo nikah sama laki-laki yang nggak cinta sama aku." Cantika menghela napas. Menatap pada jalan raya dari balik dinding kaca kafe itu.

"Cinta kan nggak bisa dipaksain." lanjutnya. Kembali menatap Azka dengan senyum manisnya. "Tapi nggak papa. Cowok bukan cuma kamu. Aku doain aku dapet yang lebih baik dari kamu,"

Azka terkekeh pelan. "Aamiin. Semoga kamu dapet imam yang lebih baik dari saya."

Cantika mengangguk. "Btw, penasaran deh sama cewek yang bisa bikin si dingin ini jatuh cinta. Siapa sih?"

Azka tak menjawab. Hanya terkekeh sambil meggaruk rahang.

"Hngg, nggak mau bilang? Yaudah." ucap Cantika. Menangkup cangkir kapucino-nya lalu menyeruput isinya.

"Maaf, ya. Sebelum berjodoh, saya mau simpen dalam doa dulu aja,"

Menaruh cangkir kapucino ke atas meja, Cantika mengendikkan bahu dengan bibir melengkung. "Terserah. Yang penting kamu ngundang aku kalo nikah sama dia entar."

"Insya Allah."

🌻🌻🌻

"Mamaaa!"

Ivi berlari menghampiri kedua orang tuanya yang duduk di ruang tamu ndalem.

Langsung menghambur ke pelukan Nirina saat sang ibu berdiri.

"Kayak anak kecil aja lari-lari," cibir Afdal.

Ivi menjulurkan lidah pada Papa-nya.

"Kangen," cicit Ivi.

Nirina mengelus kepala Ivi. "Iya. Mama juga kangen sama kamu. Kamu gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, Ivi baik-baik aja. Mama sama Papa sehat?"

"Kok nanya gitu?" Afdal menatap Ivi cemberut, salah mengartikan pertanyaan Ivi.

"Apa?" Ivi menaikkan sebelah alis.

"Alhamdulillah Mama sama Papa sehat wal afiat." jawab Nirina. Perempuan itu mendekatkan mulut ke telinga Ivi.

"Udah dong meluknya, nggak malu apa ada Pak Kiayi sama Umi di sini?" bisik Nirina.

Mengejar Cinta Ustadz ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang