"Jaga diri lu baik-baik” ucap Doyoung memundurkan langkahnya.
Keduanya menapaki tanah yang sama dengan arah yang berbeda. Semakin menjauh dan meyakinkan untuk tak menoleh. Decitan sepatu terdengar sang indera, dilorong kereta bawah tanah yang membawanya ke busan. Pukul 21.40.
Doyoung menelan saliva dan mengedipkan matanya berkali-kali diantara hamburan manusia disaat pemberhentian kereta. Entah mengapa kakinya memaku seakan melambat sepersekian detik tuk melangkah. Hati dan logikanya tak selaras.
Diantara riuh lalu lalang itu ia mendengar seseorang memanggil namanya, cukup, jangan memperkeruh. Doyoung meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah halusinasi atau mungkin ada Doyoung lain disini. Benar, ada kutipan berkata manusia memiliki 7 kembaran, mungkin Doyoung yang lain.
Suara itu semakin jelas dan membuatnya ingin menoleh, mungkin tak apa jika hanya menoleh karena …
*kissing
Dengan secepat kilat bibirnya bersatu dengan pemilik bibir yang telah ia duga. Taeyong . Kekasihnya 3 menit yang lalu. Panas menjalar ke pipi Doyoung menyadarkan apa yang sedang terjadi. Bukankah kata perpisahan telah ia sampaikan, lalu perasaan apa ini? Cukup, Doyoung dan Taeyong telah pisah. Mereka tidak ada ikatan, lagi.
“Cukup menatapku seperti itu Taeyong”, benaknya memberontak.
Taeyong melonggarkan tangannya dari pipi Doyoung, turun pelan menggenggam tas yang ia jatuhkan. Matanya tak berpindah pada mantan kekasihnya itu, walau ia tahu banyak mata memandangnya.
“Gw cuma mau mastiin, apa lu masih punya perasaan yang sama?”
Doyoung terdiam lalu melemparkan pandangan, “Lo pikir gw akan berubah pikiran? Cukup Taeyong, kereta gw mau berangkat”
Dada Taeyong terasa sesak, ia mencoba menahan pedih dan bulir yang tertahan di ujung mata. Melihatnya melangkah tanpa keraguan membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Ia katup lagi bibir yang memanggil namanya, dan berjalan pulang.
...
@.taeoxo :
#mood #blueComments :
Yuta: ni anak dugem mulu mana jarang pulang udh kek gembelJohnny: balik anjing
Taeil : kala sang pencinta sudah menggalau
Haechan: bang? gw dirumah sendiri
Doyoung menutup layar handphone. Angin malam hilir mudik menyentuh kulit putih dibalik hoodienya. Matanya menatap lurus pada rambu disebrang, merah lalu berganti hijau. Apakah saatnya ia memberikan tanda hijau bagi keresahannya? Ia tak bisa nyenyak setiap malam, benaknya selalu memaksanya tuk berpikir kembali pada yang apa yang telah terjadi seminggu yang lalu.