Ku susuri langkah beralas kain merah, decitan sepatukku tak seorang kan menyadari karena begitu bisingnya. Benturan gelas beraroma anggur memabukkan pemiliknya, lengkungan bibir menawan mewabah bak virus. Rangkaian bunga penuh warna berjejer harum menghilir.
Tampak seseorang jauh dihadapanku berbalut tuxedo berkerah satin lapel hitam yang begitu gagah dengan hadirnya cummerbund di pinggangnya yang ramping. Sempurna.
"Tanganmu gemetaran lagi" bisiknya mengenggam erat. Hangat pelukannya sehangat ikrar cinta yang ia bisikkan jua kala itu. Di kala kerlip bintang jadi saksi, dengan hiliran angin yang sesekali menyibakkan rambutku. Air menggelincir disudut mataku tanpa aba-aba. Ia menenggelamkan wajahku di dadanya. Hatiku merasa tenang.
"Bagaimana jika begini saja dulu?"
ia mengernyit dan menahan daguku.
"Maksudku jangan pergi sekarang". Manik nya menatapku sepersekian detik sampai ku tersadar bibirnya telah mendarat di keningku.
Maaf karena egoku, batinku menjerit.Kupandangi seseorang bergaun di sisinya. Diakah permaisuri sang pangeran?
Tanda tanya dikepalaku menghujam seluruh saraf dan mencubit hatiku, merenggut meminta jawaban.Lututku mencium rumput yang bau basah, desahan nafasku tak beraturan, banyak yang lalu lalang didepanku namun pudar sudah inderaku. Kutatap punggungnya yang mulai menjauh dari pandanganku. Ku berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir manisnya.
"Kita sudahi saja".Persetan dengan kuku ku yang memutih, dingin ini sungguh menyelimutiku. Kuhentakan ranjang besi yang menimbulkan decitan kasar. Dentuman keras kepalaku tak ada lelahnya. Noda amis pada straight jacket ini tak kukenali lagi.
Dua orang berbaju putih mendekatiku, mencengkram kuat lenganku yang tampak merah, ku putar permainan dengan mengikat surainya bersama jariku dan berbisik "Jangan genggam tanganku, atau kubunuh". Tawaku menggema.Namun raunganku senyap tak terdengar lagi, ku berbalik terkapar dan kelu karena terciumnya jarum menyentuh tanganku.
Janji suci yang berlalu di telingaku begitu menyakitkan. Bukan ini yang kuharapkan. Ini tertahan namun ku hanya membisu.
Ku menggenggam kenangan yang kau tinggalkan.
"Andai kau mau bersabar sebentar, pasti aku yang menggenggam tanganmu di altar suci tadi" Gumamku menatap lengan yang indah akan cakaran.
Ingin rasanya kuambil buku catatan takdir manusia, dan kupastikan kita bersama sampai akhirnya waktu memisahkan. Satu pertanyaan menghantam fikiranku,
apakah kisah kita terselesaikan seperti ini?
Ku susuri arah yang tak terhenti. Menengadah sesaat terhanyut mentari. Muncul sesal di dada atas kemenanganku yang lepas dari jerat kewarasan. Kurasa jiwaku menang, hatiku tidak. Lalu untuk apa aku berjuang selama ini?
Ku tatap lagi mentari diatas kepalaku lalu mendarat pada gelombang air yang membiaskan diriku. Tak lagi seorangpun memelukku. Ku sunggingkan bibir ini pada manik bayangan di depanku. Lalu kuhamburkan diriku pada air laut yang begitu dingin.
Goresan di lenganku sudah banyak, lalu mengapa tidak ku tambah lagi pada seluruh tubuh dengan luka?
Sehebat apapun pengorbanan seseorang, jika Tuhan tak mengizinkan itu pasti mustahil untuk bahagia.~
.
.
.
Sebenarnya ini tersimpan di draft sudah lama. Cerita ini hanya diperluas dari puisi yang kubuat :)Terima kasih telah membaca 🖤