Decitan langkah dari sepatu hitam milik Taeyong terdengar menuju lorong. Ia berlari dan sesekali memandang ke beberapa pria yang mulai mengekorinya. Dasi yang mulanya tertempel rapi kini berpaut di lengannya.
Ia melayangkan pukulan pada pria-pria itu hingga bau amis tercium sang indera. Dengan cepat ia meraih tali yang telah ia siapkan sebelumnya. Ia tergantung di ketinggian 4 meter lalu kakinya mencium rumput dan berlari meninggalkan pria yang terdiam melihat kepergiannya.
Di hari pernikahannya ia bertaruh nyawa untuk sang kekasih hati. Bukan yang bergaun ball grown didalam sana, tapi yang menunggunya di ujung kota.
Dari jauh Taeyong memandang seseorang, sungguh memesona cahayanya. Senyumnya merekah bak camelia merah yang ia siram setiap pagi.
“Doyoung” Ucapnya melegakan, menemukan kekasihnya di depan mata dengan utuh.
5 detik ia membuang pandangan karena terusik malu.
Namun dalam sekejap 5 detik itu berarti kesialan, para pria yang mengejarnya menemukan keduanya bertemu. Mereka menarik pergelangan tangan Doyoung. Desiran darah dalam tubuhnya meronta, dan mulutnya penuh sumpah serapah.
Bajingan.
Taeyong berlari dan merontokan gigi pria yang menarik tangan kekasihnya. Ia hanya manusia biasa, pikirnya, tak mungkin membereskan para bajingan itu.
Sebuah takdir menyatukan kedua jemari dari sepasang kekasih itu. Mereka berlari tak tentu arah hingga sampainya terhenti di tebing yang dikelilingi lautan biru yang dingin.
Taeyong tak bisa berdamai dengan pikirannya, ia gelisah sama halnya dengan kekasihnya. Netranya tak berpindah dari sang kekasih.“Selama kau bersamaku, kau aman”.
Doyoung mengangguk lalu ingin meyakinkan,
“Apakah mereka masih mengejar kita?”
Dorr Dorr Dorr !!!
Suara tembakan membisingkan gendang telinga, Taeyong dengan cepat merangkul kekasihnya lalu membiarkan Doyoung berlindung dibalik tubuhnya. Walau terhalang penuh peluru yang menghantam jantung, bahkan racun sekalipun yang tak terpandang akan ia hadapi.
Para pria itu sama sekali tak menyerah. Dan kini mereka berkelompok, berkali lipat dari sebelumnya yang datang dari arah selatan dan utara. Doyoung tak bisa melangkah lagi, ia bisa menemui ajal jika itu terjadi.
“Doyoung, pergilah!”
“Apa maksudmu?”
“Pergilah lebih dulu. Mereka hanya menginginkanku, kupastikan kau selamat. Lalu aku akan menyusulmu, akan kupikirkan rencana selanjutnya”
“Aku tak mau meninggalkanmu”
“Tolonglah…”
Doyoung semakin mengeratkan jemarinya lalu menatap netra kekasihnya dalam. Lalu beralih pada laut biru yang terasa dingin hilir mudik kian menyapa.
“Apakah dengan membiarkanku pergi, kau akan kembali?”,
Taeyong bergeming dan sulit menelan salivanya. Kini ia menahan bulir air yang kian jatuh di pipinya. Doyoung melanjutkan,
“Aku lelah menunggu, sayangku”
“Maka jangan. Jangan menunggu, tetaplah bersamaku. Kau, hanya untukmu ku mencinta, dan hanya untukmu ku melangkah”
Taeyong menatap laut biru yang sama, ombaknya berlarian. Sadari kebahagiaan yang takkan bisa diulang, mereka memilih hal paling gila disadari penuh kesedihan, keratapan, juga keikhlasan. Matahari terbenam mengakhiri kisah cinta abadi mereka.
Tuhan, apakah kisah kita terselesaikan seperti ini?
Bila takdir membawa pada ajalnya tiba takkan mungkin hanya tinggal diam bukan, juga meratapi kesedihan justru kian menancapkan ajalnya agar bersatunya darah sang pemilik cinta abadi.
.
.
.
"Suatu hari nanti semua pengorbanan akan terasa masuk akal"