"Aku kalau masak nasi nggak pernah habis. Ujungnya di buang! Kalau nggak masak kamu nanyain nasi. Kayaknya mending beli aja. Percuma masak kalau ujung-ujungnya dibuang," keluh gue.
"Ayah sering masak nasi buat katering kan?" tanya Sean tenang masih dengan mata yang menatap layar laptopnya.
"Nggak ada hubungannya sama Ayah ya. Ini soal nasi di rumah ini yang selalu terbuang. Kalau di rumah aku kan nasi nggak habis biasanya dijemur, nanti kalau kering dijual!"
"That's what I mean pretty. Kamu bisa ikutin juga," jawab Sean lagi masih diposisinya tadi dengan gaya yang sama persis.
Kami selalu bicara dalam keadaan seperti ini. Sean sedang bekerja dengan laptop atau iPad-nya, bahkan terkadang sambil memeriksa laporan usahanya.
Untung gue udah kebal dan bisa bersikap bodo amat. Karena itu gue nggak ambil pusing. Mau dia sambil bekerja atau mencabuti rumput sekalipun, asal Sean merespon itu sudah cukup. Gue nggak bisa dan nggak akan pernah bisa menuntutnya.
Kalau ditanya kenapa? Jawabannya simpel, Sean sudah cukup baik pada keluarga gue. Sampai saat ini Sean masih sering memberi uang untuk keluarga gue, tapi memang selalu lewat gye karena dia juga punya rasa sungkan. Mungkin Sean selalu mengeluh karena usahanya yang naik turun, atau tentang untung dan rugi —yang meskipun untung sekali pun dia masih mengeluh.
Akan tetapi soal sepuluh juta yang dia berikan setiap bulan untuk keluarga gue, dia nggak pernah mengeluh. Paling hanya meminta bukti transfer.
Jangan kan transferan uang untuk keluarga gue, daging atau ayam untuk makan dua buaya kesayangannya saja dia selalu minta nota! Padahal nggak sampai lima ratus ribu.
Sedikit informasi, Snelly dan Prilly itu adalah buaya kesayangan Sean. Buaya yang ada di belakang rumah kami berbeda dari buaya yang ada di usaha peternakannya. Kalau yang ada di peternakan adalah buaya air asin. Sementara dua kesayangan Sean adalah buaya Amerika yang konon dia datangkan langsung dari Sungai Amazon.
Tentang bagian Sungai Amazon, gue nggak tahu apakah dia serius dengan pernyataannya atau sekedar bercanda.
Baiklah, mari kembali ke topik nasi.
"Astaga. Kamu nggak malu apa istrinya jemurin nasi terus dijualin? Sean, aku tahu otak kamu isinya cuma soal bisnis, tapi nggak gini juga. Kalau beneran aku lakuin yang malu juga kamu! Jadi omongan tetangga nanti, suaminya punya banyak usaha masa istrinya jualan nasi kering? Malu!" dumal gue padanya sambil berkacak pinggang.
"Kalau malu ya udah. Dibuang aja."
Sama sekali sekali tidak menyelesaikan masalah. Padahal yang gue keluh kan di awal tadi adalah masalah membuang nasi setiap hari.
"Nggak. Keputusan aku adalah aku nggak mau masak nasi."
Akhirnya Sean menatap gue yang sedang duduk di kursi dekatnya. Kami sedang berada di ruang kerjanya, dan aku mirip seorang anak yang menunggu ayahnya bekerja sambil berceloteh macam-macam.
Mau bagaimana lagi? Memang seperti ini kami. Sean pulang bekerja hanya akan menyapa gue sebentar, paling lama kalau dia minta ditunggui makan malam. Jadi jangan heran kalau Sean pulang malam, gue nggak pernah menunggunya dan memilih tidur. Percuma ditunggu, ujungnya masuk ke ruang kerja lagi.
"Tega kamu?" tanyanya menatap gue lurus.
"Lebay kamu Yan. Cuma nasi bukan yang lain. Aku kan nggak bilang berhenti masak, cuma nasi aja yang aku permasalahin. Ya meskipun sayur buatanku ujungnya aku juga yang habisin."
"Masak Ka. Mau habis nggak habis pokoknya masak. Nggak usah dihabisin kalau emang nggak habis. Nasi yang dijual disekitar sini itu keras. Belum lagi berasnya nggak tahu dari mana."
"Kamu nggak perlu tahu beras itu ditanam di mana Yan. Asal berasnya bagus, mau ditanam di tanah sengketa juga rasanya sama aja," balas gue.
"Kayak tahu aja rasa beras di tanah sengketa."
Gue berdecak pelan, dan Sean kembali pada pekerjaannya.
"Sean?" panggil gue.
"Masak Ka. Kamu jangan memperibet sesuatu yang sebetulnya nggak ribet. Mau nurut apa enggak?"
"Kam-"
"Nyahutin terus. Sehari aja deh, kamu nurut sama aku," potong Sean.
Mukaku jadi masam.
"Kenapa itu wajahnya?" tanyanya sambil memutar kursinya sehingga tubuhnya lurus dengan gue.
"Kamu nyebelin," gumam gue.
"Karena itu kita ditakdirin nikah. Kita sama-sama nyebelin."
"Tapi kamu itu susah dibantah. Maunya menang terus. Sok paling hebat."
Sean hanya mengendikan bahunya.
"Oh iya Ka."
Gue menatap ke arah matanya yang dibingkai kaca mata hitam itu. Ganteng, tapi nyebelin.
"Kita pindah rumah aja gimana?"
Gue mengeryitkan dahi. "Pindah? Ke mana?"
"Ke tempat yang lebih ramai."
Biar gue jelaskan. Gue dan Sean tinggal di perumahan yang hanya terdapat delapan rumah saja. Perumahan ini kecil, rumahnya pun hanya type 60. Kalau untuk orang sekelas Sean, perumahan ini nggak banget.
Rubicon miliknya saja harus terparkir di jalan depan rumah, karena rumah kami tidak memiliki garasi, hanya ada carport yang sudah menjadi milik Toyota Camry. Untungnya rumah kami berada di ujung, jadi berada di jalan pun tidak masalah.
Aku hidup tenang di perumahan ini. Meskipun para penghuninya rata-rata memiliki anak kecil, tapi perumahan ini tidak berisik sama sekali. Anak-anak kecil akan bermain di sore hari, itu pun bukan di dekat rumah kami.
Dua rumah yang berada di samping kiri gue kosong. Jadi makin sepi saja rasanya.
"Oh... Ya, ya, ya. Mau ambil KPR berapa tahun?"
Kepala gue langsung dipukul pelan dengan kertas di mejanya.
"Kamu pikir aku siapa?"
Sombongnya kumat.
"Sean," jawab gue. "Yang pelit itu..." lanjut gue pelan namun cukup terdengar.
"Aku bayar lunas. Bulan depan kita pindah. Satpam perumahan ini resign. Dan berdasar rapat bapak-bapak kemarin, mereka sepakat nggak cari satpam. Penghuninya makin berkurang. Iuran bulan naik. Mereka nggak mau." Sean menjelaskan panjang lebar.
"Wah, sayang ya? Padahal pelitnya mereka kayaknya satu frekuensi sama kamu."
Sean menghela napas, "Kita pindah ke Citra Gading."
Gue langsung melotot. "GILAAAAA. Citra Gading?!"
"Yan?! Serius?! Bukan perumahan KPR? Gilaaa. Uang kamu nggak habis kan? Nanti kalau kamu nggak punya, kamu bingung loh!" Gue langsung heboh.
"Serius. Seneng kamu?" tanyanya tersenyum sombong.
"Seneng lah! Ayok kamu mau makan apa aku bikinin!"
Sean tersenyum miring sambil menatap yang sudah berdiri dari posisi duduk gue. Namun kemudian dia menarik tangan gue sehingga gue menjadi duduk di pangkuannya.
"I want you Mrs. Pretty Noisy," bisiknya dengan mulut cap buaya muaranya.
***
Hehe asik pindah yaaay!
![](https://img.wattpad.com/cover/284458196-288-k132734.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Marvelous Hubby
RomanceSebuah cerita yang akan membuatmu tertawa di awal, namun seiring berjalannya cerita kalian akan dibawa menaiki rollercoaster, membersamai Sean dan Lanika untuk menghadapi dunianya, yang awalnya terasa tidak seharusnya mereka disatukan. Ini bukan han...