03

49.9K 7.1K 340
                                    

Kaki gue menyusuri lorong pasar yang becek dan dipadati banyak orang. Sementara Sean mengekor di belakang gue sambil membawa keranjang plastik yang kami bawa dari rumah.

Rutinitas Minggu pagi kami adalah pergi ke pasar induk dan berbelanja sayuran.

Nggak akan ada grocery shopping kekinian, karena percayalah Sean lebih suka ngajak gue ke pasar. Jelas Sean lebih memilih pasar, harga di pasar jauh lebih murah daripada di supermarket.

Satu buah kol seharga delapan ribu rupiah, kalau di supermarket harganya bisa mencapai dua puluh ribu.

"Muter-muter terus. Kamu hampir tiap minggu ke pasar. Masa iya masih belum hafal tempatnya ini di mana, itu di mana?" Sean berjalan mendekat dan mengambil kertas di tangan gue yang berisi catatan belanja.

"Bikin catetan juga kayak begini," omelnya. "Kalau nurutin catetanmu ya begini. Apa ini? Ikan? Balik ke sini lagi?" lanjutnya yang hanya gue diamkan.

"Ayo." Sean memimpin sambil membawa keranjang sayur dan kertas. Sekarang giliran gue yang mengekor.

"Ini apa? Bawang tadi deket yang jual labu. Kurang besar kios bawangnya?"

"Tinggal jalan loh. Habis ini juga kamu nggak ada acara. Kalau dirasa ribet ya udah biar aku aja," balasku.

"Aku ngarahin kamu biar nggak bolak-balik. Muter kayak gangsingan."

Berbelanja sambil diikuti itu membuat gue risih. Gue nggak bisa nyaman, dan terkadang membuat gue terburu-buru. Biasanya Sean hanya akan menunggu di parkiran pasar sambil menunggu Rubicon-nya biar nggak dimaling orang.

Maaf, bagian Rubicon hanya bercanda.

Biasanya gue meminta Sean menunggu di mobil saja. Sekalinya ikut masuk ke dalam pasar dia bikin kesal. Kan yang belanja gue, ya suka-suka gue mau muter-muter lorong pasar berapa kali!

"Pantesan kamu kalau belanja lama. Ternyata begini caramu belanja?"

"Harusnya kamu di mobil aja. Ngapain ikutan segala sih?"

"Protes kamu?"

"Protes lah. Kan Aku lebih suka belanja sendiri. Mau muter berapa kali juga suka-suka aku."

"Itu namanya buang-buang waktu."

Langkah Sean terhenti di penjual bawang. "Bu, bawang merah yang bagus ya? Bilang berapa kilo?" tanya Sean kepada penjual bawang dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang dia berikan ke gue.

"Sekilo. Bawang putih juga sekilo. Terus bawang tunggalnya seperempat."

Sean menatap gue dengan tanda tanya di wajahnya. "Bawang tunggal buat apa? Kamu sakit?"

"Biar nggak darah tinggi," jawab gue dengan nada ketus.

Selesai dengan bawang, Sean kembali menyusuri lorong pasar. Dengan berada di belakang Sean, gue jadi tahu karena dia menjadi pusat perhatian. Kulitnya yang putih dan tubuhnya yang gagah dan tegap dengan mudah mencuri perhatian, apalagi mayoritas yang berada di pasar adalah kaum hawa.

"Disewain nih," kata Sean yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Mahal. Kamu pasti nggak mau," jawab gue yang ikut menatap sebuah kios yang tutup.

"Dulu Ayah jualan di sebelah mana?"

"Depan. Dekat pintu masuk."

Dulu Ayah punya sebuah kios. Ayah berjualan snack basah dan terkadang menerima pesanan. Kemudian kios mendadak dikembalikan ke Pemerintah Daerah karena Ayah mendadak mendapat tawaran bekerja di kapal.

Setelah kontrak di kapal selesai. Kemudian Ayah dan Ibuku fokus membangun usaha katering mereka di rumah. Awalnya memang sepi. Titik di mana keadaan keuangan kami membaik adalah, setelah Mami memesan katering Ayah.

Di lingkungan pertemanan Mami, mereka tidak segan merekomendasikan sesuatu yang menurut mereka memang worth untuk dipakai jasanya.

Karena Mami, pesanan katering pun semakin banyak. Biasanya yang seminggu hanya ada satu dua pesanan, setelah kenal Mami seminggu Ayah bisa tidak libur.

Belum lagi, Mami dan teman-temannya terkadang suka menjadikan Ayah chef pribadi di acara mereka. Ayah pernah bekerja sebagai asisten koki di kapal, jadi dari situ Ayah punya banyak pengalaman memasak berbagai hidangan luar.

"Catat nomornya. Kasih ke Ayah. Ini bagus prospeknya buat jualan makanan. Lihat, pedagang di sekitar kios ini bukan pedagang yang jual dagangan berbau. Ini oke, telat sedikit bisa diincar orang."

"Cari kios Ko?" tanya seorang pedagang obat tradisional yang berada di depan kios yang tutup itu.

"Iya. Ini baru aja dipasang spanduknya?"

"Iya, Ko. Tadi pagi sekali. Udah ada dua orang yang lihat loh, Ko."

"Denger?" tanya Sean. "Ini nggak dipermasalahin sama pemda, Pak?"

"Udah biasa, Ko. Dipindah tangan nggak juga ada.Rencana mau dipakai jualan apa?" tanya pedagang tadi.

"Makanan, sebenernya mertua saya katering. Tapi sekarang lagi kalah saing," terang Sean.

Sejak menikah dengan Sean, usaha katering Ayah jadi sepi. Nggak ada yang mengatakan alasannya secara jelas ke gue. Meskipun begitu, gue paham dan tahu betul kalau ini adalah salah satu konsekuensinya.

Dari semua keluarga besar Sean, yang mendukung pernikahan kami hanya Mami dan Adik perempuan Sean. Lainnya? Mereka tidak terlalu suka padaku.

Salah satu imbasnya adalah usaha katering Ayah. Dulu yang biasanya di rekomendasi kan dan dipakai di acara keluarga dan kerabatnya, sekarang sudah tidak lagi. Mereka menggunakan jasa orang lain, dan karena mereka suka sekali mempromosikan sesuatu ke lingkungan sosialnya, jadilah sekarang Ayahku tergantikan.

Lagi pula, pasti malu juga keluarga besar Sean, menantunya hanya anak pemilik usaha katering.

Sean merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Tak lama dia kemudian bicara dengan seorang laki-laki. Sudah pasti itu Ayahku.

"Iya. Lokasinya bagus. Nggak perlu pikir panjang, Yah. Ini menurutku best deal. Lokasi bersih, nggak bau."

"..."

"Oke. Nanti Vita yang urus."

Gue?

"Iya, Yah. Soal itu nanti kita konfirmasi lagi."

Sean menutup panggilannya, lalu menatap ke arah gue. "Ayah mau. Nanti kamu yang hubungan sama pemilik kios. Kalau udah deal harga aku kasih."

"Harga apa? Aku nggak paham harga ginian, Yan?" tanya gue berjalan mengikutinya yang sudah berjalan terlebih dahulu.

"Tanya harga sewa berapa. Terus kamu negonya minta waktu ketemu secara langsung aja. Sebelumnya kamu tanya-tanya dulu sama pedagang sekitar kios di sini, biasanya berapa?"

"Kenapa nggak kamu aja?"

Sean membalik tubuhnya tiba-tiba hingga menyebabkan gue menabrak dada bidangnya.

"Aku sibuk. Mana sempet? Lagian cuma nego harga. Nggak aku suruh hitung perkiraan laba rugi sama strategi pemasaran."

Gue memasang wajah marah karena lagi-lagi sifat tukang suruhnya kumat lagi.

Menatapnya wajahnya membuat kekesalan gue makin memuncak. Akhirnya gue menarik rambutnya, lalu menarik celananya sampai memperlihatkan merk dalaman yang dia pakai.

"Ka!" tegurnya tak kalah kesal namun nggak gue gubris, karena gue memilih berjalan lebih dahulu.

Gue berdoa supaya orang-orang tadi pada lihat dalamannya Sean, biar laki-laki buaya itu malu sekalian.

***












Sampai chapter 3 menurut kalian gimana?

Kasih aku kritik, saran, dan pendapat kalian yaa?

Thank you ❤

Marvelous HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang