24

47.6K 7.6K 2K
                                    

Sensitive content: mental illness, violence, blood

———


Gue menatap kosong ke arah jendela. Gue nggak tahu sudah berapa lama.

Gue nggak lagi melihat jam dinding, gue nggak lagi menghitung hari.

Biar begini saja. Gue jadi batu. Jadi batu menyenangkan. Tapi gue batu yang murah senyum. Gue tersenyum pada Sean setiap saat.

Sean cinta gue. Jadi gue akan tersenyum untuknya sebelum dia lelah.

Ayo Sean kamu harus cepat lelah.

"Rambutnya mau di gerai atau diikat?" tanya Sean sambil mengancingkan kemeja untuk gue.

Gue diam nggak menjawab.

"Aku iket aja ya?" katanya yang gue angguki dan tersenyum.

"Sean mulai menyisir rambut gue, lalu tangannya bergerak mengikat rambut gue dengan hati-hati.

"Hari ini aku pergi sebentar. Nanti aku bawa temen ke sini. Mereka mau kenalan sama kamu. Boleh ya?"

Gue diam hanya membalasnya dengan tersenyum. Wajah Sean terlihat murung. Dan gue suka dia murung! Karena itu gue tersenyum lebih lebar hingga gigi gue terlihat.

"Sekarang udah cantik. Aku kerja sebentar ya?" pamitnya yang gue angguki.

Gue menatap kosong ke arah pintu kaca yang menghubungkan ruang TV dengan balkon. Ketika gue ingin membukanya, pintunya ternyata di kunci.

Cara membuka pintu yang gue tahu adalah dengan kunci. Kalau kuncinya nggak ada, bisa di dobrak.

Gue nggak bisa mendobrak pintu, jadi gue mendorong meja TV dengan keras hingga kaca pintu pecah. Akhirnya, gue bisa duduk di balkon!

Gue duduk di balkon lama sekali. Sambil melihat ke bawah, orang-orang terlihat berlalu lalang.

Besok kalau Sean lelah, gue akan berlalu lalang ke manapun yang gue mau. Jadi hari ini gue akan melihat saja dari atas.

Suara pintu terbuka nggak mengganggu gue sama sekali. Bahkan setelahnya, suara teriakan kaget Sean pun nggak berhasil membuat gue kaget.

Harusnya gue saja kaget, ya? Kaget bisa menyebabkan kematian di TV. Oh iya mati! Harusnya gue kepikiran dari kemarin ya?

Kalau gue mati Sean akan lelah?

Ah tunggu... Gue nggak boleh mati dulu. Gue kan ingin bebas.

"Lanika!" seru Sean mendekat.

"Astaga!" suara orang asing juga terdengar.

"Ka? Kamu nggak apa-apa?" Sean sibuk memeriksa tubuh gue.

Gue tersenyum. Kemudian menunjukkan pecahan kaca yang bentuknya paling lucu untuk Sean.

Bukan, itu bukan untuk menyakiti Sean. Sean nggak boleh disakiti karena dia baik.

Dia hanya harus gue tinggalkan saja.

"Bawa masuk, Yan," suruh seorang perempuan.

Gue menurut Sean yang membawa gue masuk ke dalam apartemen. Dia kemudian mengarahkan gue ke ruang tamu. Sekarang di depan gue ada dua orang. Satu laki-laki, satu perempuan.
"Temen aku yang aku ceritain tadi pagi, Ka."

Gue mengangguk dan tersenyum ke arahnya.

"Hai? Aku Yaslin, dia Dion. Temen Sean. Kita mau kenalan sama istrinya Sean, yang kata Sean cantik. Dan ternyata cantik banget," sapa perempuan dengan rambut bergelombang itu.

Marvelous HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang