Sehari setelah kejadian di mana gue menemukan obat oles. Sean sedikit melunak. Di hari biasanya, Sean punya banyak tugas untuk gue. Sean juga terbiasa mengingatkan gue untuk ini dan itu. Tapi kemarin dia hanya minta makan, dan setrikakan bajunya saja.
Gue jadi ikut diam. Kalau biasanya gue akan menyahuti, lalu membalas kalimatnya, maka kemarin rumah terasa lebih tenang. Nggak ada balas membalas dengan nada ngotot. Nggak ada wajah kesal satu sama lain ketika bicara.
Sepertinya pagi ini akan berjalan seperti itu. Sean nggak membahas buayanya, biasanya sebelum memegang sendok, Sean akan mengingatkan gue untuk tidak lupa memberi makan anak kesayanganya itu.
"Yan?" panggil gue.
"Kenapa?" tanyanya tenang sambil meminum air putih hangat yang gue sediakan.
"Aku diajak Isla pergi jenguk Refa," ujar gue sambil menunjukkan ruang chat gue dengan Isla. "Aku pergi ya?"
"Jam berapa?"
"Mungkin agak sorean."
"Aku pulang kamu udah di rumah?"
Entah lah, antara dia bertanya atau menyuruh gue agar cepat pulang.
"Kamu tanya atau gimana?"
"Nanya."
"Nggak tahu, aku nurut Isla. Yang ngajak dia."
"Tanyain ke Isla berangkat jam berapa, pulang jam berapa."
Sean selalu begini. Ketika gue pergi makan Sean akan meminta kepastian kapan gue akan pulang. Dan yang membuat jengkel adalah, ketika sedang pergi dia sering menelpon. Alhasil biasanya aku pergi dengan perasaan nggak nyaman seolah-olah diburu oleh Sean.
"Iya. Nanti aku kabarin kamu kalau udah tahu jamnya."
Sean menatap gue lurus, alisnya sedikit menukik kebawah. Sean mode normal sepertinya akan segera kembali.
"Kalau ke sorean nggak usah. Nanti pergi sama aku aja," tegasnya.
"Nggak sore banget."
Padahal gue belum tahu jamnya.
"Isla yang nyetir?" tanya Sean mencoba menggali informasi.
"Loh? Enggak sama Radhit? Isla nggak bilang apa-apa. Tadi baca chatnya kan? Dia cuma ngajak jenguk agak sorean."
Sean memeriksa sesuatu di ponselnya, kemudian setelahnya baru dia menjawab, "Radhit di kantor sampai sore."
"Ya, aku nggak tahu. Mungkin iya? Isla bisa nyetir kan?"
Sean kemudian merubah duduknya sambil bersandar dan melipat tanganya di dada. "Nggak usah lama-lama jenguknya. Kasihan bayinya kalau kelamaabn denger berisik-berisik. Selesai jenguk sekalian kamu periksa ke dokter sana."
"Periksa apa?"
"Kamu akhir-akhir ini sering batuk-batuk kan?"
"Iya. Nanti aku sekalian periksa. Udah itu aja?"
"Pulang sebelum aku pulang," tutupnya pagi itu.
**
Isla ternyata memesan taksi sebagai transportasi kami ke rumah sakit. Sekitar pukul dua siang kami tiba di rumah sakit. Gue bertemu dengan Refa dan suaminya. Mereka senang dengan kedatangan kami. Refa tanpa ditanya, dia menceritakan proses kelahiran putra pertamanya yang diberinama Gabriel. Panggilannya Ri-el.
Refa bicara seperti kereta api yang nggak punya rem. Mendengar Refa bicara membuat gue penasaran, dia ambil nafasnya gimana? Gaya bicara itu cepat dan ceplas-ceplos, berbeda dengan Isla yang bicara dengan gaya yang halus dan sopan. Lucunya mereka berdua ini sepertinya sangat klop.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marvelous Hubby
RomanceSebuah cerita yang akan membuatmu tertawa di awal, namun seiring berjalannya cerita kalian akan dibawa menaiki rollercoaster, membersamai Sean dan Lanika untuk menghadapi dunianya, yang awalnya terasa tidak seharusnya mereka disatukan. Ini bukan han...