28

40.2K 6.6K 440
                                    

"Lucu?" tanya Sean.

Gue menggangguk sambil dia mengamati bayi kecil yang sedang tidur di keranjang.

"Kalau bangun mau gendong nggak?" Sekarang yang punya bayi bertanya. Dari tadi dia berisik terus. Bicara terus.

Dia nggak capek bicara ya?

"Kenapa?" tanya Refa lagi ketika gue menggelengkan kepala.

"Takut ya?" tanya lagi, tanya terus.

Gue menatap ke arah Sean dengan wajah kesal.

Dia berisik sekali. Nanti anaknya bangun terus nangis baru tahu rasa!

Sean malah tertawa pelan.

"Gue salah ya?"

Lagikan? Tanya lagi.

"Kamu kebanyak tanya-tanya. Lanika nggak suka ditanya-tanya. She's sensitive with stranger, Fa. Even psychiatrist having hard time to communicate with her." Sekarang suaminya yang bicara.  Tapi gue nggak tahu dia bicara apa. Pakai bahasa Inggris sih!

Refa mendesah pelan. "Aku kan cuma mau bikin dia nyaman. Malah ganggu ternyata."


"Kalian kalau mau istirahat ke kamar aja," saran Jano.

Besok ada jadwal ke dokter kata Sean, jadi dari pada bolak-balik jauh lebih baik menginap. Sean bilang belum ketemu dokter yang bagus di dekat rumah, jadi sementara masih dengan dokter yang lama.

"Ke kamar?" tanya Sean yang gue balas dengan gelengan.

"Biar di sini nggak apa-apa. Gabriel nggak gampang keganggu orang kok, lagian Lanika anteng." Sekarang Refa jadi juru bicara.

Gue mencoba mengabaikan Refa. Pandangan gue kembali fokus ke arah bayi yang sedang tidur dengan tenang itu. Wajahnya tenang sekali.

Bayi itu ukurannya masih kecil. Ajaibnya nanti dia bisa besar. Dari yang tadi hanya bisa menangis lama-lama bisa bicara seperti kami.

Dulu kami semua seperti itu ya? Kecil dan nggak bisa apa-apa.

Orang-orang jahat itu dulunya juga bayi yang nggak bisa ngapa-ngapain, ya?

Sepertinya iya.

Kalau besarnya jahat, dulu waktu jadi bayi jahat juga nggak ya? Kalau dari bayi jahat, gimana cara mereka melihat orang-orang dewasa pada saat itu? Bayi punya niat jahat juga? Tapi belum bisa dilakukan karena nggak bisa ngapa-ngapain?

Pikiran gue tiba-tiba mendadak jadi penuh.

Ah kepala! Jangan kebanyakan mikir bisa nggak sih! Capek!

Gue memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan pikiran-pikiran tadi, yang membuat gue bingung. Saat gue kembali tersadar, Refa masih bicara di sebelah gue. Gue bahkan nggak tahu berapa lama dia bicara, dan dia bicara apa saja.

"Gitu lah ya, namanya juga tetangga. Kadang resek abis!" ujar Refa yang gue nggak tahu dia bicara apa.

"Tapi gue bersyukur, tetangga di sini nggak suka urusin urusan orang. Kecuali yang memang deket. Kayak Darren sama Wildan, inget nggak? Mereka ini juara satu ngurusin urusan orang, cowok tapi ilmu pengetahuannya sosialnya tentang perkompleksan juara banget," lanjutnya panjang.

"So-"

Kalimat Refa terpotong tiba-tiba karena suara tangis anaknya terdengar.

Bayinya nangis, tapi cuma seperti boneka bebek di pencet, uek. Begitu saja kemudian berhenti sambil menggerakkan tangannya yang dilapisi sarung bayi.

Marvelous HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang