14

42.7K 7.8K 1.2K
                                    

Untuk yang pertama kalinya gue menangis di depan Sean. Setelah semua kekacauan ini, kenapa baru sekarang dia seperti ini?

Kenapa baru sekarang dia memohon?

Kemarin-kemarin dia ke mana? Ke mana saat gue diacuhkan keluarganya? Ke mana saat gue butuh seseorang yang bisa jadi tempat gue bersandar?

Bagi dia , gue ini apa?

Sean masih bersimpuh di depan gue, dengan gue yang menangis di depannya.

"Berdiri!" seru gue padanya yang membuatnya segera bangkit.

"Kamu pulang aja, Yan," usir gue.

Gue melepas genggaman tangannya lalu menyeka air mata gue.

"Puas kamu lihat aku begini?" tanya gue sinis.

"Di sini yang tersiksa bukan cuma kamu, Ka," katanya kemudian.

"Bener, Yan. Kita sama-sama tersiksa. Daripada hidup bersama tapi nggak bahagia, daripada kita saling menyakiti, lebih baik memang berpisah. Aku nggak akan minta apapun, Yan. Yang ada aku bakal berusaha ganti semua yang kamu kasih ke aku. Aku akan bayar semua materi yang pernah kasih ke aku."

"Ka, tolong. Aku mau kalau harus bersujud depan kamu. Asal kamu nggak pergi!" suaranya terdengar putus ada.

"Kalau aku nggak pergi, apa kamu punya solusi?!" balasku setengah berteriak.

Selama ini dia cuma diam. Apa yang bisa harapkan dari seorang Sean Liedarto? Bahagia selamanya? Yang ada gue sengsara selamanya.

"Kamu nggak bisa ngapa-ngapain di depan keluargamu, Yan! Lalu aku harus nahan perasaan setiap kali aku direndahkan, begitu Yan?"

Sean berbalik membelakangi gue, kemudian dia terlihat memijat kepalanya. Detik berikutnya dia melampiaskan amarahnya sambil memukul dinding beberapa kali dengan sangat keras.

Gue mematung melihat ledakan emosinya. Dari tempat gue, gue bisa melihat tangannya yang kemudian memerah lecet.

Lihat? Dia nggak jawab pertanyaan gue. itu artinya dia dia nggak tahu harus bagaimana. Pantaskah orang seperti itu memohon seseorang untuk kembali? Padahal dia nggak tahu harus bagaimana.

Mencari solusi bersama? Nggak. Gue nggak mau. Udah cukup gue sengsara. Gue udah nggak mau lagi mikirin gimana hubungan gue dan Sean kedepannya, karena perpisahan adalah yang terbaik buat gue.

"Ka, tunggu aku sebentar," pintanya dengan nada suara yang sedikit merendah.

Sebentar? Buat apa gue nunggu lagi? Gue udah nggak punya harapan dan alasan lagi

"Yan. Aku nikah sama kamu karena uang, karena keluargaku. Sekarang aku nggak mau lagi! Dan sekarang alasan buat tetap mempertahankan semua ini nggak ada, Yan. Aku udah nggak butuh kamu. Aku jahat, Yan. Aku itu manfaatin kamu," ujar gue yang kemudian buru-buru menggigit bibir gue untuk menahan air mata.

Sean berjalan mendekat dan meraih kedua tangan gue. "Ambil sepuasnya yang kamu mau, Ka. Manfaatin aku sesuka kamu. Tolong... jangan pergi," lirihnya sambil menatap ke dalam bola mata gue.

Gue menggeleng, tangis gue kembali pecah. "Nggak akan. Kembali ke kamu bukan solusi buat aku. Udah aku bilang kan? Aku nggak punya alasan kembali ke kamu."

"Ada, Ka."

"Apa?!" teriak gue sambil menyeka air mata.

"Aku," jawabnya pelan.

Apa dia bilang? Aku? Nggak Yan, sedari awal kamu bukan alasan aku buat bertahan. Dan nggak pernah ada kamu disitu.

"Buat apa kamu memohon aku kembali? Aku ini nggak ada harganya di matamu, dan keluargamu. Kamu ke mana saat aku direndahkan mereka? Kamu nggak pernah menghargai aku, Yan. Yang setiap hari kamu lakukan cuma jadiin aku pembantu. Aku nggak mau lagi. Dan nggak lagi aku balik ke kamu."

Marvelous HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang