"Selamat malam!" seru Saren ceria saat pintu di hadapannya terbuka, sosok Nina berdiri di hadapannya, tersenyum padanya.
"Mau jenguk Kak Vio, ya?"
"Iya dong. Masa jenguk Nina, emang Nina sakit?"
Nina tersenyum malu seraya menggeleng pelan. Saat hendak menyuruh Saren masuk, sosok yang berdiri tidak jauh dari mereka mendahuluinya bicara, "Ngapain lo malem-malem ke sini?!"
Keduanya menatap Viora yang berdiri di dekat kamar wanita itu. Bersandar di tembok.
Saren melihat wajah Viora pucat dan suara wanita itu parau.
"Jenguk lo..."
"Kan gue udah bilang. Lo gak usah muncul lagi di depan gue..."
"Gue bawa pizza. Eh masih ada di mobil..."
"Ya udah lo masuk." Saren tersenyum lebar, Nina melongo di tempatnya menatap kakaknya yang kini terlihat semangat menyambut makanan yang dibawa Saren. Sepertinya Viora akan sembuh jika dibawakan banyak makanan.
"Mau ambil yang lain dulu." Viora tidak mengacuhkan, ia sibuk melahap pizza di hadapannya. Segera Nina mendekat, ikut memakan.
"Kak Vio beneran pacaran sama Bang Saren?" Nina bertanya membuat Viora menatapnya tajam. Menyengir, Nina segera mengacungkan dua jarinya, tanda damai.
Saren kembali kini membawa donat serta beberapa kue juga buah.
"Wah banyak banget. Kak Vio bakal sembuh nih," celetuk Nina. Ikut semangat karena banyaknya makanan.
"Lo gak bakal gemuk kan kalau makan banyak, Vi?" Viora langsung berhenti makan membuat Saren meringis pelan. Pasti wanita itu salah paham dengan pertanyaannya. "Bukan maksud gue ledekin lo, Vi. Gue cuma nanya doang kok.
"Kak Vio gak bakal gemuk kok, Bang. Soalnya dia sakit hati terus."
"Ngapain gue sakit hati? Gue kan gak punya pacar!" Viora berdecak kesal menatap Nina.
"Sakit hati itu gak melulu karena pacar, Kak. Maksud aku, Kak Vio sakit hati karena omelan Mama terus. Nyuruh Kak Vio nikah biar Kak Vio ngasih dia cucu, terus biar Kak Vio gak ngenes lagi." Sebelum Viora menjitak kepalanya, Nina segera berdiri. Lalu menawarkan Saren minuman.
"Teh aja, Dek."
Viora melayangkan satu kakinya, seakan ingin menendang wajah Saren yang menatap Nina. Pria itu tersentak lalu tertawa.
"Gak usah cemburu, Vi."
"Siapa yang cemburu sih?" tanya Viora sewot. Kini ia mencomot donat lalu memakannya. "Nin, nanti kalau keluar bawa pisau, ya?!" teriaknya pada Nina yang berada di dapur.
"Gue lihat SW-nya Nasha. Jadi tau kalau lo sakit."
"Gak nanya!"
Saren tertawa geli. "Ngasih tau aja. Siapa tau lo penasaran kenapa gue bisa tau kalau lo sakit?"
"Gue sakit gara-gara lo!" sungut Viora kesal. Kalau saja waktu itu Saren tidak menahannya pulang, sudah pasti ia tidak akan terkena hujan saat pulang ke rumah.
"Kok gue sih? Gue gak bisa bikin orang demam." Saren mengerutkan kening heran, lalu kemudian tersenyum menggoda. "Ah saking kangennya sama gue makanya lo demam, ya? Astaga Vi, itu maksud lo?"
Viora menggeram kesal, bicara dengan Saren sangat menguras emosi.
"Eh siapa nih?"
Keduanya menoleh ke arah pintu sosok Mama berdiri di sana.
"Saya Saren, Tante." Saren berdiri lalu mencium punggung tangan Mama Viora.
"Itu di depan mobil kamu?"
"Iya Tante."
Viora mendelik kesal pada Mama yang senyum-senyum membuat firasatnya tidak enak. "Saren temenku, Ma. Gak usah mikir yang buruk-buruk," sahut Viora. Mencegah Mama berpikiran jika Saren ini adalah kekasihnya.
"Ah Mama pikir temen cowok kamu itu cuma June. Ternyata ada Saren. Kok Mama baru lihat? Kenal di mana?"
"Dulu satu sekolah, Tante." Saren yang menjawab.
"Lho? Terus dulu-dulu kenapa gak pernah mampir ke sini? Terus hari-hari sebelumnya gitu. Teman-temannya Vio yang lain sering mampir di sini lho."
"Abis lulus SMA saya kuliah di luar negeri, Tan."
"Di mana?!" tanya Mama dengan mata berbinar. Viora berdecak kesal, ingin menghentikan Mama, tapi Mama telah duduk, begitupun Saren. Keduanya berbincang dengan akrab.
"Di London, Tan. Cambridge University."
"Wah hebat. Sekarang kerja di mana?"
"Di LeGo."
"Kantornya ya?"
"Iya Tante."
"Di sana jadi apa?"
"Ma, stop!"
Kedua orang itu berhenti bicara saat Viora menyela. Viora menghela nafas pelan menatap kesal Mama.
"Jujur aja. Kalian pacaran, kan?" Keduanya melongo mendengar pertanyaan Mama. "Makanya Pak Aji mundur, ternyata saingannya wah begini." Mama tertawa. Ekspresi senang sangat kentara di wajah wanita tersebut.
Saren mengulum senyum, ia menoleh menatap Viora yang melongo di tempatnya.
"Ya udah. Kalian lanjut aja berduaan. Mama tinggal dulu. Yang penting, jangan mesum!" Mama segera keluar. Kembali ke toko.
"Ngapain lo senyum-senyum?!" Viora berdecak kesal menatap senyuman Saren yang begitu menyebalkan di matanya.
"Senyum itu ibadah, Vi."
Nina keluar dari dapur menyuguhkan teh untuk Saren juga air minum untuk Viora. Tidak lupa memberikan pisau untuk Viora. "Ngapain Kak Vio minta pisau?"
"Mau gorok leher," jawab Viora mendelik pada Saren yang melotot padanya. Viora tertawa. Lalu memberikan pisau tersebut pada Saren membuat Saren mengkerutkan kening bingung.
"Leher lo yang mau di gorok, Vi?"
"Enak aja. Kupasin gue apel." Saren menurut mulai mengupas buah apel. "Yang bersih ngupasnya, Ren. Tuh kulitnya masih ada," protes Viora mengamati Saren yang mengupas buah apel tersebut.
"Nih."
"Gue masih punya tangan, gak usah disuapin." Viora menepis tangan Saren yang ingin menyuapnya. Saren tersenyum saja seraya memakan potongan buah yang lain.
Sementara itu Nina mengulum senyum melihat kakaknya dan Saren.
Dilihat-lihat Viora dan Saren cocok juga?
Kalau Nina punya kakak ipar seperti Saren, tentu saja ia bisa pamer ke teman-temannya dan membungkam mereka yang selalu mencela kakaknya yang tak kunjung menikah.
Nina tersenyum lebar membayangkan kakaknya akan menikah dan nantinya memiliki anak. Menatap Viora dan Saren yang adu mulut karena Viora protes pada Saren yang cara mengupasnya tidak bagus, dan Saren yang tidak ingin diprotes.
"Kenapa sih kalian gak nikah aja?"
Terjadi keheningan di ruang tamu tersebut. Segera kepala Nina dihantam bantal, tentu saja yang melakukannya Viora.
***
See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
15/10/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Enemies Be Lovers
Romance•Bittersweet Series 4• _____________ Tuntutan dari orang tua agar ia menikah membuatnya jengah. Ingin rasanya lenyap saja jika setiap harinya di suguhi pertanyaan 'Kapan Nikah?'. Tidak akan teradi perang dunia ketiga jika ia tak menikah, bukan? Usi...