Bagian 17 : Kabur

2.9K 444 4
                                    

Mendapat pesan dari Nina jika Abah sedang sakit membuat Viora buru-buru ke rumah orang tuanya. Mengendarai motor kesayangannya, ia segera membelah jalan. Merasa melayang, karena saking cepat laju motornya.

Tiba di rumah orang tuanya, ia meninggalkan motornya begitu saja. Tidak sempat menurunkan standar hingga motor tersebut jatuh. Tapi, ia tetap tidak peduli. Karena perasaan cemas menguasai Viora saat ini, apalagi melihat rumahnya sedang ramai.

Tidak mungkin kan....

Kening Viora mengernyit saat melihat orang-orang yang seperti bersuka cita, tidak seperti dalam pikirannya jika orang-orang sedang berduka cita. Salah seorang menyadari kehadirannya membuat beberapa orang menatap ke arahnya.

"Nah! Pemeran utama acara udah datang nih!"

"Hah?" Viora melongo di tempatnya. Ia merasa gagu. Benar-benar tidak mengerti saat ini. Bagaikan anak hilang yang ditinggalkan Mamanya.

"Vio, sini." Mama menarik tangannya lalu masuk ke kamarnya. Mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Sosok Nina pun ikut masuk ke sana. Adiknya itu menyengir kaku padanya.

"Ini apa-apaan sih, Ma? Kok banyak orang? Te-terus Abah gimana? Beneran sakit?"

"Maaf Kak. Nina bohong." Sahutan Nina membuat Viora entah kenapa merasa emosinya melambung tinggi. Segera berdiri, berhadapan langsung dengan Mama.

"Vi, dengerin Mama dulu. Jangan marah ke adik mu karena Mama yang nyuruh Nina." Mama menahan lengan Viora saat ingin menghampiri Nina.

"Ini maksudnya apa Ma?!" Suara Viora menggelegar. Tidak peduli jika orang-orang mendengarnya.

"Pak Aji..." Viora langsung saja mengerti. Ia menggeleng keras menghentikan Mama bicara.

"Mama dan Abah beneran mau nerima lamaran dia?!" Nafas Viora memburu karena emosinya mulai meledak-ledak. Kalau saja wanita di hadapannya saat ini bukan lah orang tuanya, sudah pasti ia akan melayangkan tangannya. "Ma!! Sebelumnya aku udah ngomong kalau aku gak mau!!"

"Ini demi kebai..."

"Kebaikan aku?! Basi tau gak! Bilang aja karena Mana malu punya anak perempuan yang gak laku-laku seperti anak tetangga, anak-anak temen Mama yang rata-rata udah punya anak! Bukan kebaikan aku Ma, tapi kebaikan Mama sendiri!"

"Vio kamu mau ke mana?!" Mama menahan kuat lengan Viora yang ingin beranjak. Mama melirik Nina agar Nina membantunya menahan Viora. Tapi Nina meringis takut dan malah keluar dari kamar. "Nin, minta bantuan!" seru Mama pada Nina.

Tenaga Viora dan Mama sangat jauh berbeda. Viora lebih kuat hingga mampu terlepas dari Mama. "Vio!"

Viora tidak menoleh, segera keluar dari sana. Berlari. Tidak mengacuhkan panggilan orang-orang.

Sosok Saren yang baru keluar dari mobilnya langsung tertangkap di matanya. Ia menghampiri pria itu yang terlihat bingung. Segera ia masuk ke dalam mobil Saren dan pria itu kembali masuk.

"Cepet jalan?!"

"Kok rumah lo ramai, Vi?" tanya Saren penasaran. Tadi ia ke rumah Viora, tapi tidak ada seseorang di sana. Jadilah ia ke sini, dan bingung sekaligus penasaran karena rumah orang tua Viora begitu ramai.

"Gak usah banyak tanya! Cepet jalan!" ujar Viora panik apalagi beberapa orang mulai menghampiri mobil mereka. Saren yang terkejut segera melajukan mobilnya.

Barulah Viora bernafas lega setelah keluar dari area perumahan tersebut. Tatapannya kosong ke arah jalan. Memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.

"Lo mau ke mana?" tanya Saren tapi Viora tidak mengacuhkan dirinya. "Em... anterin ke rumah lo?"

"Jangan." Jawaban singkat tersebut membuat Saren kembali terdiam. Fokus mengemudi.

"Mau ke apartemen gue, gak?" Saren tertawa geli, tapi kemudian terdiam saat lirikan tajam Viora tertuju padanya. "Bercanda kok."

Dan terjadi keheningan di mobil tersebut. Viora yang kepalanya pusing  memutuskan untuk tidur. Berharap jika bangun nanti pusing di kepalanya hilang.

***

Suara klakson yang nyaring membuat Viora membuka matanya. Mengusap kedua matanya yang terasa berat, ia menatap sekitar. Terjebak macet?

Ia menoleh menatap Saren yang menguap lebar. Pria itu fokus menatap jalan.

"Ini mau ke mana?"

Saren menoleh, baru menyadari jika Viora telah bangun. "Ke puncak," jawabnya enteng.

"Hah?" Viora melongo di tempatnya. Ngapain mereka ke puncak? Tidak kah pria itu berpikir jika di jam-jam seperti ini jalur ke puncak macet parah dan ditambah hujan yang mengguyur. "Kita ngapain ke sini kampret?!"

"Gue gak tau lo mau ke mana? Yang ada di kepala gue sekarang ya ke sini," sahut Saren santai disertai tawa geli.

"Emang pikiran lo mesum, ya?!"

"Lah apa hubungannya puncak sama pikiran mesum?"

"Tau ah. Ayo putar balik!" seru Viora kesal. Bukannya tenang usai tidur, ia malah semakin kesal saja.

"Gak bisa. Noh lihat sebelah juga macet."

Viora menghempaskan punggungnya dengan kasar, lalu membuang pandangan ke arah jendela. Menatap hujan yang masih turun.

"Tuh di belakang ada makanan."

Jika soal makanan Viora pasti langsung bergerak cepat meski ia kesal pada Saren. Mengambil tas belanjaan di kursi belakang, ia menaruhnya di atas pangkuan lalu mengeluarkan isinya. Mulai memakan cemilan keripik singkong tersebut. Kemudian beralih pada choco pie. Menghabiskannya layaknya makan nasi. Karena saat ini Viora begitu lapar.

Sesekali Saren melirik Viora yang melahap habis cemilan yang ia beli tadi saat Viora terlelap.

Masih penasaran, apa yang membuat Viora pergi dengan emosi dari rumah orang tuanya juga orang-orang yang sempat mengejar Viora tadi.

"Tadi, ada kejadian apa sih di rumah orang tua lo?"

"Mau ngadain lamaran," jawab Viora malas, kini beralih fokus mengemil wafer cokelat.

Saren mengangguk pelan. "Ah Nina udah mau nikah..." Perkataan Saren berhenti saat menyadari sesuatu. Nina lamaran?

Kalau Nina lamaran, kenapa Viora kabur?

"Jangan bilang lo yang mau..." Saren mulai heboh menatap Viora yang tatapannya datar. Wanita itu berdecak pelan.

"Iya. Masa emak gue?!"

"Oh syukurlah gue dateng di waktu yang tepat, ya?" Saren menyengir lebar. Merasa begitu bahagia. Sementara Viora hanya mendelik tak acuh.

Hingga cemilan yang dibeli Saren dihabiskan Viora. Tanpa tersisa sedikit pun. Mereka masih terjebak macet membuat Viora kembali memutuskan untuk tidur.

Beberapa saat kemudian Viora merasa mobil kembali singgah. Kedua matanya terbuka dan menyadari jika tidak lagi terjebak macet. Matanya menyipit untuk melihat sesuatu di hadapannya yang tidak jelas karena hujan deras. Sebuah penginapan.

Saren mengajaknya turun.

Mereka berlari dari parkiran hingga ke gedung penginapan tersebut. Membuat pakaian mereka basah.

Saren menyuruhnya untuk duduk di sofa yang tersedia di lobi tersebut sementara pria itu ke meja resepsionis.

Tatapan Viora tidak lepas dari Saren. Pria itu bicara dengan serius. Sesekali meliriknya membuatnya mengernyit heran. Kemudian membelakangi dirinya hingga punggung Saren yang terlihat.

Viora menguap. Mengantuk. Rasanya ingin cepat-cepat bertemu kasur.

***

See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
02/11/21

Bittersweet Enemies Be LoversTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang