Viora mengerutkan kening saat Saren ikut masuk ke kamar yang ia pikir kamarnya. Saat ia hendak bertanya, Saren malah menutup pintu kamar tersebut.
Tatapan Viora menajam pada pria itu yang malah menyengir membuatnya rasanya ingin menendang wajah pria itu. Kalau saja tidak mengingat jika pria itu yang berhasil membawanya kabur dari hal konyol yang ingin dilakukan kedua orang tuanya.
"Mau apa lo?! Kenapa lo masuk di sini juga?! Ini kamar gue, kan?! Jangan bilang lo cuma pesen satu kamar! Rentetan pertanyaan yang cukup tajam mengurungkan niat Saren yang ingin ke tempat tidur.
"Cuma ini kamar yang..."
"Alah! Alasan aja lo!" Meski kamar tersebut memiliki dua tempat tidur, tapi tetap saja Viora enggan satu kamar dengan Saren. Dan tentunya tidak percaya jika penginapan ini kekurangan kamar. Ia bersiap keluar dari kamar tersebut. Dengan sengaja menubruk pundak Saren saat melewati pria itu untuk menyalurkan rasa kesalnya. Seharusnya sekarang ia merebahkan tubuhnya ke kasur yang empuk, bukan malah adu mulut dengan Saren.
Namun, Viora tersadar.
Ia tidak memiliki uang. Bahkan membawa dompet saja tidak. Entah apa yang dilakukan Saren di resepsionis tadi sehingga mereka satu kamar.
Menghela nafas kasar, ia kembali menoleh pada Saren. "Pinjem duit lo. Nanti gue bakal balikin."
"Lo mau apa?" Saren mengerutkan kening bingung menatap Viora yang tiba-tiba ingin meminjam uangnya.
"Mau nyewa kamar..."
"Astaga Vi! Kan gue udah bilang kalau gak ada lagi kamar. Kita beruntung dapet kamar ini, telat sedikit aja, kita bakal cari penginapan lain! Ini bukan hotel kali yang punya banyak kamar!" jelas Saren dengan suara tertahan. Ia pun lelah karena menyetir dan terjebak macet selama berjam-jam.
"Bukannya tadi lo bilang mau ke puncak? Kita belum sampai, kan?" protes Viora. Kalau di puncak, tentu ada hotel bahkan villa. Kenapa Saren malah memilih singgah di sini padahal tujuan mereka belum sampai?
"Macet banget. Gue capek." Saren tidak mengacuhkan Viora. Ia hendak masuk ke kamar mandi, tapi segera Viora menarik kerah bajunya, lalu wanita itu mendahuluinya.
Saren berdecak pelan. Ia memilih ke arah salah satu tempat tidur. Usai melepas sepatunya. Melepas jaket, juga baju kaosnya. Ia menaruhnya di sampiran. Juga, ia melepas celana jins yang melekat pada tubuhnya. Menyisakan celana bokser.
"Mau ngapain lo kampret?!" pekik Viora terkejut melihat Saren yang hanya mengenakan celana bokser.
Saren tertawa melihat tingkah Viora seperti gadis remaja yang baru pertama kali melihat tubuh seorang pria. "Inget umur lo! Gak usah malu-malu gitu lihat badan cowok."
Viora masih memunggungi Saren, ia berdecak kesal. Lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah Saren. Berkacak pinggang menatap pria itu. Memberikan tatapan peringatan. Begitu tajam. "Kalau sampai lo macam-macam sama gue, tuh titid lo gue potong!" Viora melirik selangkangan Saren membuat Saren segera menutupi area tersebut menggunakan dua telapak tangannya.
"Jangan dong Vi. Entar kalau mau bikin anak pake apa?" tanya Saren jenaka. Sebelum Viora menempeleng dirinya, ia segera berlari masuk ke kamar mandi.
Viora sendiri diam berdiri di tempatnya.
Bagaimana bisa ia tidur satu kamar dengan Saren?
Meski beda tempat tidur. Viora merasa tidak nyaman. Apalagi jika ia tidur hanya mengenakan celana dalam juga baju tanpa lengan. Karena jika berpakaian lengkap, Viora merasa risih dan tidak bisa tidur.
Viora mengerang frustasi.
Haruskah ia menyuruh Saren tidur di lorong kamar saja?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Enemies Be Lovers
Romance•Bittersweet Series 4• _____________ Tuntutan dari orang tua agar ia menikah membuatnya jengah. Ingin rasanya lenyap saja jika setiap harinya di suguhi pertanyaan 'Kapan Nikah?'. Tidak akan teradi perang dunia ketiga jika ia tak menikah, bukan? Usi...