DADW-8| Sebuah pertengkaran

2.8K 178 136
                                    

‘‘Nurani terketuk. Tetapi, rasa sakit masih menjadi penguasa segala sisi.’’

—Sarah Jinan Ulya

🍁

    

     Langit kota kembali memuntahkan ratusan kubik air setelah sebelumnya sempat reda. Guntur yang menggelegar, kilat yang menyambar, sempurna melengkapi pertunjukan kelabu nabastala di seluruh penjuru kota sore itu.

     Biasanya, vista hujan menjadi sebuah hal yang menyenangkan untuk Ilyana nikmati sembari membebaskan pikirannya mengkelanakan angan masa depan. Namun, kali ini ada gelisah pada wajah cantiknya. Mengingat selang waktu antara kepergian lelaki tersebut dengan kedatangan metromininya hanya beberapa menit, bukan tidak mungkin lelaki itu kini tertimpa hujan lagi dan harus melawan dingin karena merelakan jaket untuk dikenakannya.

      Perempatan lampu merah, metromini berhenti. Ilyana memangku tatap pada suasana di luar dan memperhatikan orang-orang yang meneduhkan badan di warung-warung kecil pinggir jalan. Tanpa disangka, lelaki itu menjadi salah satu di antara sekian  orang yang tengah menepikan diri di warung kopi.

     Di sana, lelaki itu tengah duduk pada bangku kayu panjang seraya menyesap kopi hitam dalam wadah gelas plastik tanpa peduli pada tempias hujan yang menerpa. Sesekali, tatapan lelaki itu naik ke langit kelabu, lalu ke arah jalanan yang ramai padat sambil menyeruput kopi panasnya. Interaksi-interkasi kecil yang pria itu lakukan bersama wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya juga tidak luput Ilyana perhatikan.

      Ramah dan sopan. Tanpa sadar, bibir Ilyana menyungging senyum. Debar asing yang tidak ia sadari pelan-pelan menguasai hati. Dinikmatinya wajah rupawan milik lelaki itu dalam keterdiaman yang begitu indah hingga tidak menyadari akan pergerakan tatapan si lelaki yang beralih ke arahnya.

     Ilyana terperanjat! Dia tepergok! Lelaki itu melambai kecil kepadanya disertai seutas senyuman geli —seolah tengah mentertawakannya. Dada Ilyana kontan berdegup kencang, wajahnya merona seketika!

     Deg!

     Deg!

     Deg!

     Buru-buru, ditundukkannya pandangan untuk menguasai diri sebelum membalas lambai lelaki itu dengan kecanggungan yang membuat tubuhnya dingin gemetaran. Untuk mengalihkan malu, Ilyana menaikkan jaket dan berucap, "Jaketnya. Nanti kamu kedinginan. Saya udah di bus."

     Si lelaki tidak bisa menangkap lafal pergerakan bibirnya. Maka, Ilyana memeragakan dengan gerak tubuh semampunya.

     Berhasil! Lelaki itu tersenyum dan menggeleng. "Nggak pa-pa. Pakek kamu aja dulu," jawabnya dengan mulut bergerak pelan agar mampu ditangkap si lawan bicara. "Saya kuat dingin."

     Ilyana terkekeh kecil, dadanya tercelus haru atas kebaikan lelaki asing yang memiliki sepasang mata hitam berkilat yang dihiasi bulu mata lentik itu. "Serius? Saya bisa, kok, turun sebentar."

     Ali tetep menggeleng. "Serius. Nggak pa-pa."

     Ilyana menangkupkan kedua tangan sebagai ucapan terima kasih sebelum menuliskan kata di kaca jendela, 'Terima kasih banyak, Mas.'

Di antara dua wanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang