DADW 22| Harap dalam gelap

1.7K 104 72
                                    

“Seperti halnya kamu dan Ilyana, aku akan tetap mempertahankan ini meski harus berdarah-darah”

—Ali Syahreza

🍁🍁


    

     "Eh, udah bangun? Abang mana?"

     Larisa tak acuh atas sapaan dan pertanyaan itu. Dia tetep diam melewati sang ayah, mengambil segelas air putih, lalu duduk pada meja makan dengan terpaksa. Jika saja ayahnya tidak terus-terusan mendatangi pintu kamarnya, ia lebih memilih untuk tetap meringkuk di atas ranjang saja walau aktivitasnya tidak lebih jauh dari menangis dan menangis.

     "Di kulkas cuma ada sarden sama telor. Makan yang ada aja dulu, ya." Meski demikian, Ali tetap bersabar hati menerima segala perlakuan anak-anaknya yang menjadi lebih dingin dan apatis. "Risa, mau dimasakin apa nanti?"

     Tetap sama. Larisa bahkan sedikitpun tidak melirik pada kesibukan ayahnya yang tengah mencuci peralatan dapur. Di wajahnya tidak ada secercah gairah ataupun semangat untuk menjalani hari. Nyawanya seakan mati tepat ketika ibunya memilih pergi. Ia tidak memiliki ketenangan, bahkan dalam tidurnya sekalipun yang kini terjejali oleh rasa takut, rasa cemas dan tangisan memilukan memikirkan masa depan keluarga yang hancur. Dalam keadaan paling mustahil sekalipun, tidak ada seorang anak yang ingin melihat perpisahan di antara kedua orang tua.

     "Nasinya tambahin coba." Ali mengelap tangannya yang basah sembari berjalan menuju tempat Larisa. "Semalem kamu nggak makan, lho, Sayang," ujarnya lagi dan menambahkan nasi juga lauk di piring putrinya.

     Larisa masih juga tidak peduli. Nafsu makannya justru semakin hancur karena sikap Ayahnya yang terlihat masih tenang-tenang saja. Apa Ayahnya tidak khawatir pada kondisi ibunya di luar sana? Apa Ayahnya tidak ingin tahu dan tidak ingin mencari di mana ibunya tinggal kini?

     Air mata Larisa menggumpal di sudut netra. Telepon dari Ilyana yang langsung diterima ayahnya dengan cepat, semakin meremukkan hati dan membuatnya berpikir bahwa dunia ayahnya masih baik-baik saja sebab memiliki pengganti. Tapi, itu tidak berlaku untuknya, untuk Dimas dan yang pasti untuk Ibunya yang harus kalah dan mengalah dari wanita kedua.

     "Mas?"

     "Ya?" Merasa tidak pantas untuk berbicara di depan sang putri, Ali kemudian beranjak dan memilih halaman belakang yang sepi. "Kenapa?" tanyanya, datar.

     "Nanti ke sini nggak?"

     Ali berpikir sejenak memandangi langit pagi yang sudah terang oleh sinar matahari. Dari kemarin sore sikapnya sudah cukup keterlaluan kepada Ilyana. Semalam pun, ia sengaja mematikan telepon agar bisa menenangkan diri dan membuat pesan serta banyak panggilan Ilyana tertolak. Kecewanya masih sangat besar untuk wanita itu.

     "Aku minta maaf."

     Suara Ilyana yang bergetar di ujung telepon membuat Ali membuang napas yang panjang. Ia tidak boleh membuat keadaan makin sulit dengan tetap meninggikan ego sendiri. Ilyana sudah menyadari kesalahannya dan sudah sepantasnya maaf diberikan.

     "Nanti aku ke situ. Mau nyuci sama beres-beres rumah dulu."

     "Jam berapa?" Ilyana bertanya lagi.

Di antara dua wanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang