‘‘Aku telah berusaha menutup celah, sekecil apapun itu. Tetapi, bentengku ternyata tidak terlalu kokoh untuk serangan yang ternyata lebih kuat dari pertahananku. Ya ... kenyataannya aku selemah itu’’
—Sarah Jinan Ulya
🍁
Suara Ali dan Dimas dalam menirukan bunyi kendaran memenuhi kamar, sekaligus menjadi penghiburan bagi Sarah yang sedang menata keperluan pribadi ke dalam travel bag berukuran sedang. Tidak banyak barang yang harus dibawa untuk kepulangannya ke Bogor esok hari karena ia hanya akan menetap selama dua hari. Selain itu, Ali yang tidak bisa ikut serta membuatnya harus mampu meminimalisir barang bawaan demi kenyamanan perjalanan.Sesungguhnya, membawa Dimas tanpa adanya Ali cukup membuatnya kerepotan. Terlebih dengan kondisi Dimas yang acap kali mengalami mabuk perjalanan. Namun, dia tidak mampu melakukan apapun saat Ali mengatakan bahwa izin yang sempat diajukan tidak mendapat persetujuan dari perusahaan.
"Anaknya suruh tidur, Mas. Udah mau jam delapan. Takut besok susah dibangunin dianya."
Ali melihat jam dinding. Pukul 19.45 WIB. Di jam ini, biasanya ia masih berada di indekos Ilyana, memanfaatkan sisa waktu yang dimiliki untuk sekadar bercerita atau makan bersama. Tapi, untuk kali ini dia harus menahan diri sebentar dan pulang lebih awal. Pertemuannya dengan Ilyana sore tadi pun, hanya berlangsung tidak lebih dari satu jam. Keduanya hanya membicarakan mengenai penghulu yang telah Ali siapkan untuk menikahkan mereka besok sore dan juga persiapan untuk acara yang hanya akan dihadiri beberapa orang dari pihak Ilyana, yang tidak lain teman dekatnya ketika tumbuh di panti.
"Bobo, yuk, Sayang?" Ali mengajak.
"Sebental, Ayah." Dimas masih melajukan mobil kecil di tangan, juga memarkirkan beberapa miniatur kendaraan-kendaraan. "Belom mau bobo Dimas-nya."
"Nanti kalo telat, ketinggalan bis, gimana?" Ali ikut membantu Dimas merapikan jajaran kendaraan yang masih dimainkan. "Nggak jadi, lho, ke rumah Nenek."
"Kan, mobilnya banyak, Ayah...." jawabnya. "Nanti kalo ketinggalan, naik yang lain."
Sarah dan Ali terkekeh.
"Tapi, 'kan, mobilnya nggak ke rumah Nenek semua, Nak." Ali kemudian membawa Dimas ke atas ranjang dan mendudukkannya di pangkuan. Anak itu terlihat tidak memberontak. "Nenek udah beliin Dimas mainan robot. Kalo Dimas nggak jadi ke sana, nanti robotnya gimana?"
"Tapi, Dimas belom antuk, Yah...." balasnya dengan bibir dimanyunkan. "Mainan sekali lagi aja, yuk? Pesawat Dimas belom diajak mainan. Kasihan...."
"Bobo, Sayang...." Ali menolak dengan halus. "Kalo bobo kemaleman nanti susah dibangunin."
"Enggak, Ayah...." Dimas bersikukuh, lengkap dengan kepala menggeleng. "Ya? Kasihan pesawatnya?" Kedua matanya yang lentik mengedip-ngedip penuh permohonan. "Ayah ganteng, deh!" rayunya.
Ali tergelak. Dihujaminya pipi sang putra dengan kecupan yang membuat keduanya terbahak senang. "Pesawatnya besok lagi. Malem ini dongeng aja gimana?" Ia menawarkan opsi lain sambil mengelus rambut anaknya. "Dimas mau diceritain apa?"
Dimas menggeleng. Untuk malam ini ia tidak berminat mendengarkan cerita-cerita.
"Terus apa?"
"Eum...." Dia berpikir-pikir dengan satu telunjuk mengetuk-etuk dagu, juga bola mata yang bergerak-gerak ke atas menatapi langit-langit ruangan. "Puk-puk aja, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Di antara dua wanita
Romance"Sampai pada sebuah alur yang begitu pahit, saya menyadari bahwa buah dari ketidak adilan adalah ancaman perpisahan." -Ali Syahreza _______ Original story by In_stories Credit pic : Pinterest