‘‘Saya tidak ingin memarahi kemarahan-kemarahan mereka. Bukan karena hilang harga diri sebagai suami. Tetapi, karena dahulu saya sudah terlalu banyak menyakiti’’
—Ali Syahreza
🍁
Mendekati pukul setengah tiga pagi, mobil Ali baru memasuki pelataran rumah minimalis dua lantainya.
Urusannya dengan pihak kepolisian selesai tanpa kendala yang berarti. Sanksi yang diberikan kepada Dimas dan pelaku balap liar lainnya tergolong ringan. Mereka hanya dijatuhi sanksi berupa denda, tilang dan juga wajib lapor yang diberikan sebagai tindakan preventif agar mereka tidak lagi mengulangi perbuatan.
Memasuki ruang tamu, Ali masih menutup rapat mulutnya. Pria itu tak berbicara sepatah kata pun sejak keluar dari kantor polisi. Bahkan, perjalanan dari polsek hingga ke rumah hanya terisi oleh suara kendaraan yang bertarung dengan angin malam.
Mengempaskan pantat pada permukaan sofa, Ali menyuruh lewat gerakan mata agar anak dan istrinya ikut duduk.
Hening. 180 detik terlewati tanpa ada suara.
Dua orang yang duduk di kedua sisi Ali juga sama-sama membisukan diri. Rintik hujan dari luar menjadi pemenuh rungu sebelum Ali akhirnya menyedot atensi dengan pertanyaannya yang tanpa basa-basi. "Jadi, kamu sering keluar tiap malem itu cuma buat balapan, Dim?"
Dimas diam sebagai jawaban atas pertanyaan sang ayah. Tidak ada raut takut dari wajah remaja itu. Apalagi rasa bersalah.
"Sekarang ayah tanya," Ali memperbaiki duduk menjadi tegak sempurna dan menyerongkan badan kepada Dimas, "...motivasi kamu buat ikut balapan kayak gitu buat apa?"
Dimas tetap bergeming.
"Buat seneng-seneng?" sindir Ali. "Kalo kamu emang hobi sama balapan, mending kamu ikutan komunitas-komunitas racing yang jelas asal-usulnya!"
Sarah mengenggam tangan Ali saat nada bicara lelaki itu meninggi.
"Bukan ikutan balap liar nggak jelas gitu. Balapan liar itu ilegal, Dimas. Ada hukumnya!" Ali tetap melanjutkan kalimat penuh penekanannya. "Kamu udah gede."
Tak ada sahutan. Dimas memilih untuk tetap diam mendengarkan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku hoodie. Ia tidak ingin mengeluarkan pembelaan diri karena sadar bahwa yang ia lakukan bukan kebenaran. Namun, ia melakukan semua itu bukan semata-mata untuk kesenangan sendiri atau tidak mampunya ia dalam memilah dan memilih jenis pergaulan. Dirinya hanya sedang membutuhkan pelarian dari kenyataan menyakitkan yang harus disembunyikan.
"Ayah nggak bermaksud buat membatasai hak bermain kamu. Tapi, kalo apa yang kamu lakuin itu melanggar aturan dan berpotensi bikin kamu rugi sendiri, ayah juga punya hak buat kasih kamu arahan." Nada bicara Ali menurun. "Balapan liar itu nggak bener, Nak. Resikonya gede. Kalo niat kamu balapan cuma buat gaul-gaulan, itu sama sekali nggak ada nilai baiknya." Jeda sejenak. Ali mengambil beberapa helaan napas sebelum melanjutkan, "Jadi, ayah tanya sekali lagi, apa alasan kamu ikut balapan?"
Namun, Dimas tetap bungkam. Ia tidak memiliki sedikitpun keinginan untuk memberikan jawaban karena jujur pun, tidak serta-merta mampu membuat perasaannya lega.
Ali menarik napas, berat. Putranya sangat sulit untuk ditebak apalagi dikulik. "Kalo ada masalah cerita sini ke ayah sama mama." Ia usap punggung sang putra. "Jangan dipendem sendiri yang berujung dengan kamu ngelampiasin sama hal-hal nggak bener."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di antara dua wanita
Romance"Sampai pada sebuah alur yang begitu pahit, saya menyadari bahwa buah dari ketidak adilan adalah ancaman perpisahan." -Ali Syahreza _______ Original story by In_stories Credit pic : Pinterest