“Tidak ada yang tersisa dari sebuah perpisahan selain hanya rindu dan sesal yang besar”—Ali Syahreza
🍁🍁
Sesungguhnya Sarah tidak mempunyai tujuan pasti setelah pergi. Keputusannya meninggalkan rumah adalah manifestasi atas kebingungan menghadapi kejahatannya yang terbongkar. Ia sungguh malu, terutama kepada anak-anaknya. Jika saling ingin menyalahkan, Sarah tetap akan mengaku salah. Tetapi, ia pun tidak lebih dari wanita malang yang menjadi korban atas kejamnya dicampakkan.Air mata Sarah berurai semakin deras. Tubuhnya bertambah lemas terduduk pada lantai kamar hotel dengan punggung bersandar pada ranjang. Wajah dan tangisan anak-anaknya tidak sedetik pun henti di pelupuk matanya, terus bermunculan bahkan kenangan derita sejak mereka kecil. Jeritan-jeritan Larisa, suara parau Dimas, mendengung-dengung di daun telinga. Jika saja bisa, ia ingin membawa mereka ikut serta. Akan tetapi, ia tahu suaminya tidak akan pernah melepaskan mereka sekalipun anak-anak menginginkan. Selain daripada itu, ia merasa tidak lagi pantas untuk menjaga keduanya. Kesalahannya kali ini telah mencoreng kepercayaan hati Dimas dan Larisa dengan lebih dalam melebihi sakit yang diberikan oleh ayah mereka.
Sangat memalukan dan mungkin ... sulit termaafkan.
Ponsel yang kembali berdering menggoyahkan sedikit atensi diri. Sarah menjangkau benda yang terabaikan di atas ranjang tersebut. Ada dua puluh pesan dari Helmi serta lima belas panggilan yang tidak dia terima. Tidak ingin Helmi menganggu dan menanti jawabannya, Sarah kemudian membuat panggilan suara.
"Kamu lagi kenapa? Di sana baik-baik aja, kan?" Helmi seketika memberondongnya dengan pertanyaan cemas yang tulus."Nggak biasanya teleponku dianggurin lama."
"Aku pergi dari rumah." Suara Sarah bergetar mengucapkannya.
"Kamu di mana sekarang? Aku samper!" Suara Helmi di ujung koneksi semakin resah risau.
"Jangan dulu." Sarah menahan dengan isakan yang membaur bersama kalimat. "Aku lagi pingin sendiri."
"Oke.... Aku paham." Helmi mengembuskan napas panjang. Mengerti. "Tapi, kasih tau aku di mana kamu sekarang?"
"Hotel Rose land. Kamar 132."
Perasaan Helmi sedikit tenang. Setidaknya wanita itu sudah berada di tempat yang baik untuk bermalam. "Serius aku nggak harus ke sana?" tanyanya untuk lebih memastikan. Kendati sangat ingin mendatangi, ia tidak serta-merta bisa melakukan tindakan yang membuat Sarah marah dan terusik.
"Aku lagi pingin sendiri." Pendirian Sarah tidak goyah. "Kita ketemu besok pagi aja sekalian sarapan bareng."
"Kalo berubah pikiran telepon. Jam berapapun aku bakal dateng." Helmi tetap menawarkan diri untuk menemani. "Aku tau, ini hal yang paling berat buat kamu."
Memang sangat berat. "Makasih, Hel...."
"Apapun buat kamu, Sar."
Sarah menaruh telepon itu lagi di lantai. Panggilan masuk dari anak sulung hadir setelahnya. Tangisnya menjadi berkali lipat amat sesak melihat layar yang menyala, mendesak, menuntut diterima. Namun ... ia membeku dalam gerak nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di antara dua wanita
Romance"Sampai pada sebuah alur yang begitu pahit, saya menyadari bahwa buah dari ketidak adilan adalah ancaman perpisahan." -Ali Syahreza _______ Original story by In_stories Credit pic : Pinterest