DADW 16| Rasa rendah diri

2.3K 128 131
                                    

‘‘Aku runtuh!’’

—Sarah Jinan Ulya

🍁🍁

     Ketukan-ketukan pintu tidak juga membuahkan hasil. Dimas akhirnya mengangkat kembali gawai dari saku jaket dan menghubungi si penghuni agar bisa menerima kedatangannya. Namun, kegagalan lagi-lagi dijumpai. Citra tetap enggan.

     Telah satu minggu gadis itu mendiamkan dirinya tanpa sebab jelas. Telepon dan banyak pesan yang dikirimkan tidak satupun mendapat tanggapan. Berberapa kali ia juga berusaha menemuinya secara langsung, tetapi Citra selalu dapat meloloskan diri.

    "Cit...."

     Tok!

     Tok!

     Tok!

     "Kamu bukan anak SMP lagi. Diem gitu aja nggak bikin masalah beres. Ayo kita bicara baik-baik. Abang tunggu."

     Dimas menarik napas panjang menatapi pintu rumah yang tidak dibuka-buka. Sungguh, ia tidak memiliki kepandaian untuk merayu. Dan tidak ada pilihan yang bisa dilakukan selain terus menunggu.

      "Abang nggak tau salah Abang di mana. Jadi, tolong jangan diem gini," ujar Dimas lagi.

     Tepat di pukul setengah lima sore —dua jam setelah Dimas menanti— Citra yang akhirnya dibuat menyerah. Kegigihan lelaki itu untuk meminta jawaban atas sikap menghindarnya belakangan ini tidak bisa untuk diabaikan terus-terusan. Toh, apa yang Dimas ucapkan sangatlah benar. Lingkar masalah tidak akan putus hanya dengan sikap diam.

     Menguak daun pintu, Citra langsung dihadapkan dengan tatapan menusuk milik Dimas Syahreza, tetapi juga ada kekhawatiran di dalamnya. Ia lantas duduk di kursi sebelahnya dengan pandangan lurus ke halaman rumah yang tertepa cahaya-cahaya sendu senja.

     "Abis nangis kenapa? Nonton drama?" Dimas coba bertanya.

     "Abang, ngapain ke sini?"

     "Pertanyaan Abang nggak bisa dijawab dulu, ya?" balas Dimas, menyindir halus.

     "Bener kata Yas, dari awal Abang emang nggak pernah serius ke aku," ucap Citra tiba-tiba. "Aku cuma jadi mainan doang!"

     "Yas ngomong apa emang?" Dimas berusaha tetap tenang meski ia tidak suka atas tuduhan tersebut.

     "Ki—kita deket udah berbulan-bulan. Kita sering saling kasih perhatian. Kita sering main bareng, nonton bareng, jalan bareng ke mana-mana." Citra berucap sembari menahan isakan. Ia sendiri masih tidak berani membalas pandang lawan bicara yang sedari tadi tidak menggeser tatap daripadanya. "Tapi, aku nggak pernah tau status kita ini sebenernya apa, Bang? Aku nggak mau terus-terusan jalan di hubungan yang ngegantung gini! Aku punya hati. Punya perasaan juga, tapi kayaknya Abang nggak peduli sama itu semua!"

     "Abang nggak pernah ada niat buat mainin perasaan kamu." Dimas membantah, memandang Citra serius.

     "Terus kenapa selama ini Abang nggak pernah kasih kepastian apa-apa buat hubungan kita?!" tantang Citra, menatap Dimas tajam.

     "Abang nggak siap buat jalin komitmen."

     Seketika Citra menatap Dimas penuh kecewa. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa lelaki yang selalu mampu memberinya keping bahagia, akan sekejam ini pada perasaan yang ia berikan dengan tulus. "Oke kalau itu jawaban Abang! Berarti kita cukup. Setelah ini anggep kita nggak pernah deket sekalipun!" putusnya.

Di antara dua wanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang