Jeno's Truest Self

15K 2.2K 557
                                    

Jeno berkedip sejenak.

"Apaan, sih, lu, Mark?!"

"Jawab, Jeno."

"Nggak mau!" Jeno langsung bangkit dan berpura-pura membereskan tas kerjanya.

"Nggak usah ngelak, Lee Jeno. Lu inget, lu dulu juga ngelakuin hal yang sama ke Yeeun? Ke gue?"

Gerakan Jeno membeku. Ia terdiam dengan masih membelakangi Mark.

"Lu itu tipe orang yang nggak bisa mengekspresikan perasaan lu. Bener, kan, Jen? Makanya dulu, pas kita pertama ketemu di SD, lu ngelempar bola basket ke muka gue. Kita awalnya musuhan, inget nggak? Terus hal yang sama terjadi pas lu ketemu Yeeun. Berapa kali lu nolak dia tiap kali dia nemuin elu? Lu, kan, nerima Yeeun Cuma karena lu suka kegigihannya sebab lu tahu sendiri sikap lu itu bikin lu dimusuhin orang banyak. Tapi Yeeun beda. Itu, kan, alesannya, Jen? Lu nggak tahu aja gimana ekspresi lu pas ngomongin Jaemin. Iya gue tahu lu banyakan sewotnya. Tapi Cuma dia orang yang bisa ngeruntuhin tembok es di dada lu itu. Sejak kenal dia, lu jadi lebih capable of feeling things. Nyadar nggak lu?"

"Mark–"

"Sejak kapan, Jen?"

Jeno kembali terdiam. Ia pun membalikkan tubuhnya dan menatap Mark. Mark tampak gigih, jelas tak terpengaruh dengan kegalauan Jeno. Ia sudah kenal Jeno sejak mereka kecil. Membaca sikap Jeno selama ini bukan perkara sulit bagi Mark.

"Coba gue tebak," karena Jeno masih tidak mau bicara, Mark akhirnya berkata. "Apa sejak perkenalan? Atau sejak dapat jatah magang di stase bedah?"

Jeno masih bungkam.

"Jen, lo tahu, kan, lo nggak perlu bohong di depan gue? We're bestfriends, right?"

Ucapan Mark itu telak membuat Jeno menghela napas panjang. Ia pun menghempaskan tubuhnya di atas sofa dan menatap langit-langit kantornya. Ia tak percaya harus mengungkapkan semuanya kepada Mark. Tapi di sisi lain, ia tahu ia tak punya alasan untuk menyembunyikan apapun kepada Mark.

"Sejak..."

Pikiran Jeno melayang pada suatu hari yang terik.

Acara itu merupakan konferensi tahunan dari fakultas kedokteran yang tak lain adalah almamater Jeno. Tahun ini, ia diundang untuk mempresentasikan paper terbarunya tentang rangkuman agenda kerja ikatan dokter bedah toraks dan kardiovaskular internasional. Sebagai profesor, Jeno mendapat banyak sambutan baik itu dari profesor-profesornya dulu hingga mahasiswa kedokteran yang datang menonton.

Ruangan auditorium fakultas penuh sesak saat Jeno mempresentasikan materi sepanjang 40 menit yang dilanjutkan dengan tanya jawab. Setelah melalui berbagai acara seremonial lain, barulah ia bisa bernapas lega di backstage.

"Profesor Lee?"

Ia langsung membuka mata dan berdiri saat seseorang yang familiar menghampirinya.

"Profesor Jung." Ia membungkuk hormat kepada salah satu tonggak besar NC Hospital itu. Ayah dari rekan kerjanya itu tampak sehat meski sudah pensiun. Namun kecintaannya terhadap dunia medis membuatnya tetap berusaha hadir di acara-acara konferensi seperti ini.

"Selamat, ya. Presentasi Anda luar biasa." Profesor Jung menyalami Jeno.

"Ah, terima kasih, Prof." Ucap Jeno. Profesor Jung adalah salah satu dokter yang berjasa membuatnya secerdas sekarang tapi Jeno bukan orang yang senang memuji. Lagipula, Profesor Jung tentu tahu betapa besar dampak yang ia berikan kepada anak muda itu. Ia adalah teman main golf ayah Jeno tiap kali Mr. Lee keluar dari pulau.

Don't Get Sick | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang