Shotaro terkejut saat melihat sosok yang familier tengah duduk di taman rumah sakit. Tanpa ragu, mengabaikan kantuk dan lelahnya usai bekerja seharian, ia berlari mendekati sosok yang tampak seperti mimpi itu.
Di tempat duduknya, Jaemin menatap Shotaro dengan pandangan sendu. Kentara jelas baru saja menangis. Ia tahu ia pasti tampak sangat out of place sekarang dengan mengenakan setelan satin berwarna keperakan dan gladiator sandals warna merah marun dengan rambut yang ditata sedemikian rupa.
Belum sempat Shotaro membuka mulut, Jaemin sudah berkata, "I know I can't be here. But I don't know where to go."
"Jaemin," Shotaro mendekat khawatir.
Begitu Shotaro meyakinkan bahwa Jaemin baik-baik saja, Jaemin dengan cepat menghambur ke pelukan temannya itu.
"I'm sorry... I'm sorry..."
Shotaro hanya bisa menepuk punggung Jaemin, berusaha menenangkannya.
Usaha itu baru berhasil lima belas menit kemudian, setelah air mata Jaemin rasanya sudah habis dan matanya sudah kering. Shotaro mengambilkan kompresan es sebab Jaemin dengan panik menyadari bahwa ia akan menikah dua hari lagi dan ia tak ingin muncul dengan mata bengkak dan wajah sembab.
"Aku jelek banget," keluh Jaemin saat bercermin melalui hp Shotaro.
Shotaro tersenyum kecil. "Na Jaemin dan jelek itu nggak layak ada di kalimat yang sama."
Mendengarnya, mau tak mau Jaemin ikut tersenyum. "Bisa aja, Taro. Makasih banyak, ya. Sori dateng-dateng tiba-tiba nangis dan peluk kamu gitu. Aku kangen banget sama rumah sakit ini. Sewaktu selesai magang kemarin, aku nggak kasih penghormatan yang semestinya sama semua; temen-temen dokter, dokter senior, pasien, sampai taman ini."
Shotaro menggeleng. "Its okay. Semua tahu kamu sibuk." Hatinya sedikit nyeri sebab ia tahu kesibukan Jaemin sudah beralih, bukan lagi sebagai calon siswa pendidikan spesialis, tapi sebagai calon suami istri orang.
"Rasanya... semua orang yang aku kenal jadi asing aja, gitu," ungkap Jaemin. Di samping Shotaro, rasanya ia lebih ingin mengungkapkan semua uneg-unegnya. "Orang tua sama saudara aku, Haechan, Jeno," kata terakhir diucapkannya sambil tersenyum miris.
Perlahan Shotaro mengangsurkan air mineral di genggaman tangannya. Jaemin berterima kasih dan meneguknya meski sambil sedikit sesenggukan. Mungkin Shotaro terlalu terbutakan cinta tapi Jaemin masih tetap menawan dan manis meski wajahnya bengkak dan hidungnya memerah.
"Aku, tuh, sampai di titik kayak mau meledak aja rasanya karena nggak ada yang mau ngerti. Aku tahu semua orang bakal ngatain aku egois kalo bilang gitu, tapi rasanya emang nggak ada yang bener-bener mau ngerti aku. Ngerti maunya aku. Denger suara aku. Mereka Cuma mau dengar yang mereka pengin denger aja. Rasanya nyesek banget." Akhirnya Jaemin meluapkan isi hatinya tanpa terkendali.
"Kalo aku cerita sama keluarga aku, mereka pasti bilang aku Cuma gugup karena mau nikah. Kalo aku cerita ke Haechan, pasti dia berkali-kali bilang kalau aku beruntung. Kalau aku cerita ke Jeno..." Jaemin gigit bibir, mengingat upayanya untuk menceritakan isi hatinya kepada Jeno tadi berakhir bencana. "Mereka bilang ini pernikahan pertama dan terakhir buat aku dan Jeno, makanya semua orang antusias. Ya aku tahu. Siapa, sih, yang nggak pengin pernikahannya berlangsung selamanya? Tapi aku Cuma berharap mereka mau consider aku sebagai manusia, bukan manekin. Aku memang ngabisin banyak waktu sama mereka tapi aku ragu mereka benar-benar tahu aku atau enggak."
"Kenapa itu penting buatmu, Jaemin?" tanya Shotaro pelan. "Kamu tahu, kan, pernikahan itu, ya, punya dua orang. Setelah semua demam pernikahan ini selesai, kamu dan Jeno akan berdua lagi dan jauh lebih adem."
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Get Sick | NOMIN
FanfictionSewaktu pertama kali tahu kalau dia bakal jadi menjalani internship di NC Hospital, Na Jaemin tahu bahwa jalannya menjadi dokter tidak akan mudah. Meski begitu, ia yakin kalau dengan semangat dan kegigihan yang ia punya, ia bisa menjadi dokter spesi...