Invasi Alien

14.1K 1.8K 108
                                    

"Nana," panggil Jeno.

"Hm?" Jaemin yang sedang memotong kuku jari tangan Jeno menyahut tanpa tergerak dari fokusnya. "Jangan banyak gerak, ya," imbuhnya meski Jeno hanya diam di tempatnya.

Mereka sedang menonton televisi di rumah Jeno. Di titik ini, Jaemin sudah berkali-kali ke situ dan bahkan memiliki kunci rumah Jeno untuknya sendiri. Ia memiliki beberapa pot anthurium yang diberi nama sesuai tokoh-tokoh The Three Musketeers, memiliki sikat gigi dan handuk sendiri di kamar mandi Jeno, hingga menyimpan beberapa helai pakaiannya di kloset Jeno. Suasana rumah yang awalnya begitu stagnan pun sedikit berubah.

Di sana-sini sudah tampak jejak kehidupan para penghuninya. Seperti makanan buatan Jaemin yang seringkali menyambut Jeno saat ia pulang, buku-buku Jaemin yang berserak di atas meja, dan lagu selain Debussy, Schumann, dan Wagner yang mengalun di stereo sebab hal itu mengingatkan Jeno akan Jaemin saat Jaemin tak ada.

Itu adalah perubahan satu-satunya di kehidupan kecil Jeno dan ia menyukai itu. Meski harus membiasakan diri, ia tak bisa membayangkan mengembalikan rumahnya seperti tanpa sentuhan Jaemin.

"Sudah ada keputusan?"

Jaemin tak menjawab. Tangannya cekatan memotong kuku-kuku Jeno dengan rapi.

"Dokter Xiaojun belum tanya lagi." Akhirnya ia memutuskan menjawab dengan diplomatis.

"Itu, kan, pembimbing kamu. Ini yang nanya aku, lho."

Akhirnya Jaemin menatap Jeno. "Sudah."

"Lalu?" tanya Jeno antusias. Pertanyaan tentang pendidikan spesialis Jaemin adalah salah satu yang paling ingin ia tanyakan mengingat bulan depan program magang Jaemin berakhir.

Jaemin sudah menghabiskan banyak waktu berdiskusi dengan Dokter Xiaojun, yang meski berada dalam jalur profesional dan akademis, membuat Jeno sedikit cemberut karena menurutnya, waktu berduaan mereka harus lebih banyak daripada waktu berduaan Jaemin dengan orang lainnya.

Jaemin sendiri tidak mengerti bagaimana ia bisa membuat Lee Jeno yang diolok Haechan dengan Stonehenge itu demikian obsesif padanya. Namun ia tidak bisa mengelak bahwa ia juga menikmatinya. Tidak pernah ia bayangkan ia bisa membuat Jeno cemberut dengan satu penolakan, apalagi sampai memohon untuk menghabiskan waktu bersama.

Seperti sekarang. Meski Jeno berdalih ia akan membantu Jaemin dengan laporannya, sudah dua jam mereka duduk di depan televisi yang menayangkan film box office yang tidak mereka tonton karena terlalu asyik berbincang satu sama lain.

"Aku mau ambil spesialis bedah, Jeno."

Senyum lebar terpampang di wajah Jeno. "Good choice." Dikecupnya pipi Jaemin keras. Ia sudah bersikeras memaksa Jaemin untuk mengambil sekolah spesialis. Jaemin sempat menimbang apakah ia lebih baik praktik dulu dan mengambil spesialis di masa mendatang.

Namun menurut Jeno, justru proses magang Jaemin akan sangat bermanfaat dalam sekolah spesialisnya, jadi ingatannya yang masih segar itu akan lebih baik jika digunakan untuk belajar.

"You know that I'll be supporting you, right? You don't have to worry." Jeno mengecup pipi Jaemin, kali ini lebih lembut.

Jaemin tak pernah berkata dengan gamblang, tapi Jeno tahu salah satu hal yang menghambat Jaemin untuk mengambil pendidikan spesialis adalah biaya. Menjadi dokter merupakan jalan yang mahal. Jaemin memang mendapatkan bantuan beasiswa sebelumnya, jadi ia bisa menabung sampai sekarang. Itulah yang menyebabkan Jaemin sedikit gusar. Apakah ia bisa berhenti menjadi dokter umum saja dan praktik di lingkungan rumahnya atau mengejar titel spesialis.

Don't Get Sick | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang