8 | Autumn

150 22 0
                                    

..••°°°°••..

8• The things we know, the fact I know, doesn't always make you understand how precious it is.

"Kau sudah bangun?"

Matanya mengerjap, menarik napas dalam dalam lalu menghembuskan nya pelan. Berusaha menarik kembali kesadaran nya yang lenyap karena rasa kantuk. Kedua alis nya tertaut membentuk sebuah kernyitan, merasakan udara dingin yang menusuk kulit walau gadis itu telah mengembalikan selimutnya di tempat semula.

"Tadi, suster sudah melepas infus mu. Besok kau sudah boleh pulang. Setelah pulang sekolah, aku akan menjemputmu."

Tangan yang sedari tadi sibuk dengan kotak kecil diatas nakas, kini beralih membantu laki laki itu untuk menegakkan tubuh kekar nya yang lumayan berat bagi gadis sepertinya. Lalu, atensinya kembali terfokus pada kotak berisi perban dan obat merah tadi, setelah Jean memutuskan untuk pergi ke kamar mandi.

Bibirnya melengkung tipis membentuk sebuah senyuman yang nyaris tak terlihat. Hati nya menghangat, saat mendapati sebuah selimut yang menutupi tubuh nya. Tentu ia tahu siapa gerangan yang melakukan hal manis itu padanya.

"Aku akan mengganti perban mu," ucap Rai tepat setelah Jean kembali mendudukkan tubuhnya diatas brankar.

Jean menaikkan salah satu alis nya. "Kau bisa?"

Rai terkekeh. "Aku tidak akan ditunjuk sebagai Ketua PMR jika melakukan hal ini saja tidak bisa."

Jean terperangah. Netra hazel nya menangkap jelas pemandangan langka di depan nya. Selama ini, ia memang melihat gadis itu tersenyum dan tertawa. Tetapi, semua itu adalah kepalsuan yang diketahui oleh Jean. Kali ini, tawa kecil itu adalah ekspresi alami yang Rai buat, yang membuat jantung nya berdebar lebih cepat.

Jean membuang muka. Membiarkan Rai menggantikan perban di kepalanya dengan telaten. Tentu itu membuat jarak diantara mereka menjadi terkikis. Bahkan Jean dapat merasakan deru napas Rai, pelan.

"Aish maafkan aku!" Rai menggigit bibir bagian bawah nya saat menyadari Jean meringis saat ia meneteskan obat merah pada bagian luka nya. Perlahan ia kembali membalutkan perban pada bagian kepala Jean.

Jantungnya berdetak lebih cepat karena jarak mereka yang cukup dekat. Bahkan tangan nya yang membalut perban, sejak tadi bergetar, takut jika Jean kembali meringis dan merasakan sakit pada bagian luka nya. Ia mengikat sisa perban tepat di belakang kepala Jean, lalu menempelkan perekat berwarna cokelat agar tidak terlepas.

"Sekarang tinggal di bagi-"

Brukkk

chu~

Rai tak sengaja menginjak selimut Jean yang terjuntai sampai ke lantai membuat tubuhnya menimpa tubuh kekar Jean. Tangan kiri Jean refleks menahan pinggang gadis itu. Ia mengernyit merasakan sebuah benda kenyal yang menempel di keningnya. Bibir ranum Rai ternyata berhasil menyentuh kening Jean yang berkerut.

Buru buru Rai menjauhkan tubuhnya dari tubuh kekar Jean. Keduanya bersemu. Rai mulai gelagapan begitu juga dengan Jean yang salah tingkah. Laki laki itu membuang muka berusaha menyembunyikan pipi nya yang bersemu.

Debaran yang tak pernah ia rasakan selama ini, ia dapat dari gadis itu. Gadis ─ yang ─ tak ia sukai. Perasaan bingung terhadap gadis itu kembali membuncah membuatnya berdecak.

"Maafkan aku! aku ... ak-aku tidak sengaja! sungguh!"

Jean mengusap wajah nya kasar. "Tolong ganti yang di lengan ku sekarang."

"I-iya!"

Jean bersikap seolah tidak pernah terjadi apa apa diantara mereka. Selain karena dirinya yang mencoba menetralisir detak jantung nya, ia juga membenci perasaan tak karuan itu. Sangat membencinya.

My Fiance✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang