2 | rasa bersalah

35.4K 2.5K 54
                                    

Peraturan lapak Fey:

•Tekan vote sebelum membaca✅
•Wajib komen yang banyak✅

Terima kasih & selamat membaca!


***

Sepuluh panggilan tak terjawab dari kontak bernama Iren Yasmin langsung menghiasi layar ponsel Dikta saat benda canggih itu sudah tidak dalam airplane mode. Saat ini Dikta berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta setelah melakukan penerbangan dari Surabaya.

Iren Yasmin:

Kamu di mana? Aku pengin ketemu.

Secepatnya.

Kabari kalau udah punya waktu luang.

"Ada apa?" Tanpa basa-basi, Dikta langsung melontarkan pertanyaan kepada Iren. Mereka sepakat untuk melakukan pertemuan di rumah saja. Pertemuan terakhir mereka adalah lima hari yang lalu, itu pun hanya berpapasan di lobi kantor NAI (Nusa Alpha Indonesia) secara tidak sengaja, lain daripada itu, komunikasi mereka tidak selancar pasangan suami istri pada umumnya. Bagai gelas tanpa isi, hubungan Dikta dan Iren hanya sebatas status tanpa cinta di dalamnya.

"Aku hamil," kata Iren memberitahu.

"Anak siapa?" Dengan enteng, Dikta menyingsingkan lengan kemeja, tak peduli meskipun wanita yang duduk di sofa seberangnya sedang ingin mengulitinya hidup-hidup.

"Menurut kamu siapa?" Kalimat itu terucap dengan penuh penekanan. "Kamu nggak ingat? Saat kedua kali waktu itu kamu nggak pakai pengaman, berengsek!" Napas Iren tersengal-sengal. Ada sesak melanda dadanya.

"Kamu yakin itu anak aku?" Dikta memandang Iren tajam. "Bukan anaknya Dewa?"

Iren terdiam.

"Kita berhubungan tiga bulan yang lalu, di rentang waktu itu, aku tahu kamu selalu sama Dewa. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu, supir kamu gampang disuap."

"Sialan," desis Iren. Ia semakin kehilangan akal akan fakta yang Dikta katakan. Kemudian, untuk apa pula Dikta ingin tahu perihal urusannya? Iren sendiri tidak pernah penasaran dengan kehidupan percintaan Dikta.

"Nggak nyangka, ternyata kamu selicik itu." Iren berdiri dari duduknya, kakinya tidak sabar ingin meninggalkan rumah yang merupakan hadiah pernikahan dari orang tua mereka. "Ya udah, kalau kamu memang ngotot nggak mau percaya, aku bakal gugurin anak ini. Setelah itu tunggu surat gugatan cerai dari aku." Iren mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu keluar.

"Nggak ada cerai-cerai," kata Dikta lantang, dengan cepat menarik bahu istrinya. "Kalau kamu memang yakin itu anak aku, kenapa pengin kamu gugurin?"

"Kamu tahu, aku belum siap punya anak. Dengan kamu nolak anak ini buat aku merasa nggak punya alasan untuk mempertahankan dia." Ada nada getar dalam suara Iren.

"Oh, ya? Bukan karena kamu ragu?"

Iren menampar pipi Dikta dengan keras, tanpa segan Iren menarik kerah kemeja Dikta, lalu menghempasnya dengan percuma. Mata mereka beradu sengit dibentengi oleh ego yang menjulang.

"Oke, aku memang kotor." Tak mudah bagi Irene untuk mengakui hal tersebut. "Aku sering main sama Dewa, hampir setiap kami ketemu. Apa itu buat kamu sakit hati?"

"Nggak sama sekali. Kalaupun iya, ini bukan perkara cemburu seorang suami kepada istrinya, melainkan karena aku merasa gagal sebagai kepala keluarga. Seharusnya dari awal aku nggak setuju sama permainan kamu, itu melukai harga diri aku sebagai laki-laki, Ren."

Iren baru bisa berdecak. "Aku bisa dengan mudah minta Dewa tanggung jawab, tapi hubungan kita saat ini mempersulit semuanya." Sejujurnya, Iren sudah lelah mengobrol dengan posisi berdiri, ingin kembali duduk pun Iren merasa sungkan, padahal rumah itu miliknya juga. "Kamu tahu gimana orang tua aku."

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang