18 | una sakit

21.7K 2.1K 194
                                    

Peraturan lapak Fey:
•Tekan vote sebelum membaca✅
•Wajib komen yang banyak✅

Spam love buat Una di sini❤️❤️❤️

***

Dikta baru mengembalikan Una pada Iren ketika pukul tujuh malam, dalam kondisi suhu tubuh Una bisa dikatakan cukup tinggi, dan jelas langsung membuat Iren naik pitam.

"Una dari mana aja, Li?" tanya Iren pada Loli yang tampak panik melihat Una lemas dan tak berdaya.

"Sehabis makan siang tadi Una main di timezone." Malah Dikta yang menjawab duluan.

Iren lantas berdecak. "Aku nggak nanya kamu." Lalu kembali menatap Loli tegas. "Kalian bawa Una ke mana?"

"Yang Pak Dikta bilang barusan, Bu."

"Oh, Una main di timezone sampai jam tujuh malam gini?!" Suara Iren naik satu oktaf, membuat Loli menelan ludah, takut. "Kalau gitu ya jelas lah Una tepar gini!"

Tanpa ba-bi-bu, Iren bangkit dan membawa Una ke kamar. Sedikitpun ia tak melirik Dikta yang duduk di sofa seberang.

Dikta yang mengaku salah lantas mengusap muka kasar. "Aku bawa Una ke rumah Luna."

Kemudian, Dikta dibuat tersentak mendengar pintu yang ditutup keras oleh Iren. Langkah panjang pria itu pun mendekat ke kamar Iren, Dikta mengetuk tiga kali daun pintu tersebut sebelum memutar gagang pintu. Tak dikunci. Pandangan Dikta langsung terkunci pada tatapan tajam Iren yang hanya melihatnya sekilas.

"Kenapa?" Pelan, tetapi menusuk. Iren sibuk mengaduk isi tasnya, entah mencari apa. "Oh, ada." Wanita itu berbicara sendirian, membuat Dikta mengerutkan kening, lalu Iren menyampirkan tas di bahu kirinya sambil satu tangannya yang lain menggendong Una yang merebahkan kepala di dadanya. Bocah itu tertidur lemah.

"Mau ke dokter?"

Iren hanya berdehem dan berjalan meninggalkan Dikta.

"Ren." Dikta mengikuti langkah Iren.

Iren meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja ruang tamu. Una ia berikan pada Loli.

"Mau ke dokter, Bu?"

"Iya, kamu pegang Una, ya. Aku yang nyetir." Iren mengangkat kunci mobilnya.

"Biar aku yang nyetir." Tiba-tiba Dikta merebut kunci mobil Iren.

Iren berdesis tajam sebelum merebut kembali kunci tersebut. "Nggak usah, kamu urus pacar kamu aja, aku nggak butuh bantuan kamu."

"Maksud kamu apa?" tanya Dikta mengegas, emosinya mulai terpancing.

"Nggak ada maksud apa-apa. Maaf kalau kamu tersinggung." Iren terkekeh tajam. "Loli, ayo kita berangkat." Iren menyempatkan diri menoleh pada suaminya. "Kalau kamu mau nemenin anak kamu periksa, ikutin aja mobil aku."

"Ren!"

Namun, Iren sama sekali tak memedulikan teriakan Dikta. Sampai di basement pun ia justru mempercepat laju mobilnya agar Dikta semakin tidak punya kesempatan untuk mengajaknya berkompromi. Iren malas, capek, dan muak.

"Ngapain aja di apartemen Luna?" tanya Iren menginterogasi Loli."

"Hmmm ... itu, Bu—kami dimasakin sama pacarnya Pak Dikta."

Tanpa sadar Iren langsung merespons"wow" dengan senyum mengejek. Apakah Dikta sedang melaksanakan misi mendekatkan Una dengan Luna? Calon mama baru anaknya nanti? Membayangkannya, dada Iren serasa ditusuk belati. Iren menghapus setitik cairan di sudut matanya. Sebagian besar hatinya merasa tidak rela jika kelak anaknya memanggil wanita lain dengan panggilan ibu, mama, atau panggilan semacamnya. Rasa-rasanya Iren tidak sanggup berbagi panggilan itu.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang