Peraturan lapak Fey:
•Tekan vote sebelum membaca✅
•Wajib komen yang banyak✅Terima kasih & tetap patuhi aturan bestiiiiee hahaha! Happy reading!❤️
***
Iren kehilangan minat melakukan apa pun. Video yang Dewa kirim kemarin sungguh menghantuinya. Iren sampai takut mengaktifkan ponsel yang sejak kemarin nonaktifkan. Yang Iren lakukan sepanjang hari adalah tidur, dia bangun hanya jika ingin buang air. Gedoran pintu pagi tadi diiringi panggilan dari Loli dan Bu Inem pun Iren abaikan. Iren sedang tidak ingin bertemu siapa pun hari ini.
"Ibu?"
Ketokan pintu dari luar membuat Iren berdecak. Itu suara Bu Inem lagi. Tanpa ambil pusing, Iren menarik selimut sampai menutupi kepala.
"Ibu nggak kenapa-kenapa kan di dalam? Duh, buka dong, Bu. Ini udah jam satu siang loh, Ibu belum makan dari pagi."
Iren paham, Bu Inem pasti khawatir. Bukannya langsung bangun, Iren justru menatap langit-langit kamar dahulu dengan perasaan hampa.
"Bu Iren?"
Gedoran pintu semakin kuat, suara Bu Inem juga semakin keras. Dengan linglung Iren bangkit dari tempat tidur.
"Alhamdulillah," kata Bu Inem lega setelah Iren membuka pintu kamar. "Saya kira Ibu kenapa-kenapa."
"Aku nggak apa-apa kok, Bu." Iren menatap penjuru rumahnya yang tampak lengang.
"Saya udah telepon Pak Dikta, Bu. Saya bilang Ibu nggak keluar kamar dari tadi pagi. Pak Dikta bilang dia udah telepon Ibu tapi katanya nomor Ibu nggak aktif, jadi saya disuruh gedor-gedor pintu kamar. Huft, untungnya Ibu nggak apa-apa, pikiran saya udah yang negatif-negatif tadi."
"Aku emang sengaja matiin handphone, Bu."
Bu Inem langsung menganga tak percaya. Iren hanya menggaruk kepala dan tak mau menjelaskan lebih jauh, biarkan saja Bu Inem bertanya-tanya.
"Ya udah, Bu Iren makan dulu aja. Saya udah masak, loh."
Iren hanya mengangguk. Sungguh, ia tak berselera makan. Perutnya yang tadi beberapa kali berbunyi tak ia pedulikan, pikirannya kusut, Iren merasa terimpit dan tak tahu harus bagaimana saat ini.
"Loli mana, Bu?" tanya Iren yang duduk di meja makan.
"Loli ikut nemenin Una, Bu."
Iren ber-oh panjang.
"Emangnya mereka mau jalan-jalan ke mana?"
"Loh, Bu Iren nggak tahu?" Bu Inem tampak kaget.
"Nggak."
"Mereka main ke Ragunan, Bu."
Iren mengangguk-angguk sambil menatap piringnya. Baru lima suap yang masuk ke mulutnya, Iren sudah malas menelan makan, mengunyah pun malas. Iren menyudahi makannya dan membawa piring itu ke wastafel cuci piring, masih banyak makanan tersisa dalam piringnya.
"Cepet banget, Bu, makannya."
"Nggak selera, Bu," ungkapnya jujur. "Tapi sayur supnya enak kok, aku suka."
"Wah, syukurlah, Bu. Besok mau saya buatin lagi nggak? Tak buatin yang banyak." Bu Inem kegirangan.
"Terserah Bu Inem." Iren memijit kepala. "Aku ke kamar ya, Bu."
"Bu Iren sakit?" Ada tatapan khawatir dalam wajah penasaran Bu Inem.
Iren langsung menggeleng, lalu bergegas menuju kamar. Sampai di kamar, langkah Iren berhenti di depan cermin, jelas Bu Inem mengira dirinya sakit, wajahnya benar-benar sepi polesan make up, apalagi bibirnya yang seharian ini belum tersentuh lipstik sedikit pun. Iren mengusap mukanya berkali-kali. Ditatapnya laci nakas tempatnya menyimpan ponsel semalam, ada rasa penasaran sekaligus takut menyentuh ponsel tersebut. Penasaran karena Bi Inem bilang Dikta sempat meneleponnya, lalu Iren juga takut karena video yang kemarin dikirim oleh Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpisah Itu Mudah (Tamat)
Romance(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) "𝑩𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉?" Celaka dua belas karena Dikta dan Iren harus terjebak dalam pernikahan yang tak mereka inginkan. Cinta tak...