Peraturan lapak Fey:
•Tekan vote sebelum membaca✅
•Wajib komen yang banyak✅Itung-itung biar aing semangat nulis wkwkw
Terima kasih & selamat membaca!
***
Iren:
Dikta tidur di kamar lain kok.
Dua jam kemudian, Iren terbangun karena mendengar suara gedebuk dan tangisan keras dari Una.
"Paaa!"
"Una?" Iren yang semula tertidur lelap langsung terbangun dalam keadaan tidak siap, dia meraba-raba permukaan tempat tidur di sampingnya untuk mencari Una.
Betapa kagetnya Iren melihat anaknya sudah tersungkur di lantai dengan tergulung selimut yang setengah menjuntai ke bawah, bagian lain dari selimut itu masih ada di atas tempat tidur. Ah, itu selimut yang Iren pakai.
"Astaga, Sayang. Kok bisa jatuh sih?"
Iren buru-buru turun dari tempat tidur, lalu meraih badan Una yang tenggelam dalam selimut tebal itu. Una masih sesegukan, tangannya terulur seolah ingin segera ditolong oleh sang mami.
"Cup cup cup, apanya yang sakit, Nak?"
Iren mengusap punggung Una, dengan harapan anak itu segera berhenti menangis. Namun, Una tetap terisak dan menendangkan kaki hingga mengenai paha Iren, alih-alih menunjukkan bagian tubuhnya yang mana yang kesakitan.
"Una mau minum nggak?" Ah, tak ada air minum di kamar itu. Iren meringis kebingungan.
"Duh, kamu nggak apa-apa kan? Jangan sampai patah tulang atau-"
Astaga, Iren langsung ketakutan, apalagi setelah mengingat ada banyak kasus orang mengalami pembungkukan punggung karena terjatuh dari tempat tidur saat masih kecil.
"Apanya yang sakit, Nak? Punggung Una nggak sakit, kan?"
Iren mengusap punggung anaknya berulang kali sambil tetap berusaha menenangkan Una dengan mengayun-ayunkan balita itu dalam dekapan.
Una tetap tidak berhenti terisak, air mata membasahi muka Una, bahkan sekarang ia juga memukul-mukul dada Iren.
"Tunggu, Mami bangunin Papa dulu ya."
Masih dengan Una yang ada di gendongannya, Iren melangkahkan kaki cepat-cepat menuju kamar yang ditempati oleh Dikta malam ini.
"Dikta!"
Iren mengetuk pintu dengan keras. Wanita itu meringis takut melihat tangisan Una. Apa anaknya sedang menahan sakit?
"Dikta, buka buruan!"
Tetap tak ada tanggapan. Iren mencoba meraih gagang pintu, ternyata tidak dikunci.
"Astaga."
Pintu terbuka, tampak Dikta menatapnya heran dengan mata menyipit yang masih mengantuk.
"Una kenapa?" gumam Dikta yang masih mengatur napas.
"Una jatuh dari tempat tidur, dia nggak berhenti nangis dari tadi."
"Kok bisa?"
Iren memencakkan kaki. "Nggak tahu, aku baru kebangun pas Una nangis."
Dikta mengambil alih Una. Iren ikut duduk di samping Dikta dengan muka panik.
"Bagian mana yang sakit, Nak?" Dikta menyibak baju tidur Una, mengecek apakah ada sesuatu yang aneh di sekitar perut atau punggung putrinya.
"Papaaa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpisah Itu Mudah (Tamat)
Romance(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) "𝑩𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉?" Celaka dua belas karena Dikta dan Iren harus terjebak dalam pernikahan yang tak mereka inginkan. Cinta tak...