24 | kesempatan

24.5K 3.1K 1.3K
                                    

Peraturan lapak Fey:
•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm follow

Spam love di sini boleh bgt❤️

***

"Aku ... udah putus sama Dewa."

Cukup lama Dikta tertegun, gerakannya mengelus rambut Iren ikut terhenti. Napasnya yang tadi terhela berat kini jadi seringan kapas.

"Kapan kalian putus?"

Sejujurnya, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Dikta utarakan. Namun, berusaha ditahannya.

"Pas kamu ke Kalimantan."

Dikta semakin membeku. Berarti sudah lama, bukan?

"Kenapa kalian putus?"

Iren melepaskan diri dari pelukan Dikta.

"Aku capek terlibat dalam hubungan rumit," gumam Iren dengan wajah yang masih sembab. "Nggak kamu, nggak Dewa, sama-sama bikin capek. Jadi, aku memilih lepas dari kalian berdua."

Dikta menatap Iren lekat, air mata Iren masih menggenang, wanita itu menunduk dan tak berani menatap Dikta.

"Kamu beneran nggak laper?" tanya Dikta yang kemudian kembali mengambil makanan Iren yang tadi disimpannya di meja.

"Nggak."

"Kamu harus makan sebelum minum obat."

"Aku nggak selera makan." Iren kembali merebahkan badan dengan tidak nyaman.

"Aku suapin. Ayo bangun."

Pria itu kembali duduk di tepi tempat tidur, tepat di belakang Iren. Namun, Iren tetap tak menyahut.

"Iren." Dikta mengangsurkan tangan meraih bahu Iren. "Tolong jangan kayak gini. Sama aja kamu nyiksa diri kamu sendiri. Makan lima suap aja nggak apa-apa."

"Rasanya aneh, Dikta."

Iren tetap tak menoleh.

Dikta mengaduk makanan di piring dengan kesabaran yang mulai menipis.

"Bu Arum bilang dia bakal ke pasar besok. Kamu mau makan apa? Biar kita nitip bahan makanannya."

"Bukan makanan yang aku maksud. Kamu yang aneh."

Ya Tuhan.

"Kenapa?"

Iren memutar badan agar bisa menatap Dikta langsung.

"Perhatian kamu terlalu aneh buat aku."

Dikta tahu.

Iren melengos lemah. "Maaf, aku terlalu percaya diri."

"Percaya diri juga nggak apa-apa. Sekarang, ayo bangun," perintah Dikta untuk kesekian kalinya.

Dengan setengah hati Iren bangkit.

"Mana piringnya."

"Biar aku suapin." Dikta menyodorkan sendok berisi nasi ke depan mulut istrinya.

Iren termangu menatap sendok tersebut sebelum kembali menatap Dikta.

"Buka mulut, Ren."

Iren masih berusaha mencerna suasana, berdehem pelan, lalu membuka mulut dengan ragu sebelum menelan nasi yang Dikta suapkan dengan susah payah. Lehernya terasa pahit. Selanjutnya, Iren menerima suapan telur dadar dengan kernyitan yang terpapang jelas di dahinya. Namun, Dikta sepertinya tak peduli dan terus menyuapinya.

"Udah, please. Rasanya enek banget."

Iren menyerah. Untung saja makanan tersebut tak sampai ia muntahkan hingga suapan kesepuluh. Kepalanya terkulai lemas di atas lutut setelah meneguk setengah air dari gelas kaca, Iren memeluk lutut kedinginan.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang