Peraturan lapak Fey:
•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm followSebelum baca, aku mau survei ah, kalian tahu cerita ini dari mana?
✓Wattpad
✓Tiktok
✓Rekomendasi temen
✓Sosmed lainSpam love di sini boleh bgt❤️
***
Dikta bertelanjang dada saat keluar dari kamar mandi dengan bawahan celana selutut berbahan jersey warna hitam. Sesaat Dikta menggosok rambutnya sebelum menyadari keberadaan Iren yang duduk bengong di teras rumah. Tampak siluet Iren dari samping yang beberapa kali menggeleng-geleng sebelum menggaruk kasar kepala. Bibirnya berkomat-kamit menggerutui sesuatu. Entah apa yang Iren risaukan.
Dikta tersenyum lebar. Kali ini apa lagi yang membebani pikiran istrinya? Iren tidak menoleh sedikitpun. Apa istrinya tidak mendengar derit pintu saat Dikta keluar dari kamar mandi?
Segera ia melangkah pelan-pelan dengan niat ingin mengagetkan Iren, langkah Dikta berhenti di bagian samping teras rumah, Dikta menahan cengirannya yang hampir mengeluarkan suara. Tangan Dikta sudah mengudara dan sudah siap mengagetkan Iren. Sebelum niatnya itu terlaksana, tiba-tiba Dikta kepikiran, hubungan mereka baru membaik, bagaimana jika nanti Iren marah? Atau risiko paling buruknya, Iren kena serangan jantung gara-gara tindakannya. Seingat Dikta sih, Iren tidak punya riwayat penyakit seperti itu. Namun, tetap saja, menjadi golongan suami-suami takut istri sepertinya bukan pilihan yang buruk.
Dikta berdehem pelan dan menyentuh bahu Iren. Sontak saja Iren menoleh heran.
"Ngapain di situ?"
Dikta menggaruk kepala.
"Maaf, tadinya aku mau ngagetin kamu," ungkap Dikta jujur, ia melangkah cepat menaiki anak tangga dan duduk di samping istrinya. "Maaf, ya? Nggak maksud aneh-aneh kok."
Dikta menatap Iren lekat dengan raut memelas. Sementara itu, Iren hanya menganga kecil sebelum tertawa lebar.
"Kamu kenapa sih?"
Iren merapatkan tubuh ke dada telanjang Dikta, tanpa sungkan ia memeluk suaminya, lalu ia menumpukan dagu di bahu lebar di depannya.
Dikta membalas pelukan Iren tak kalah erat, satu tangannya bergerak naik mengelus rambut panjang Iren.
"Harusnya kamu ngagetin aku aja."
"Hm? Kenapa justru pengin dikagetin?"
Senyum Iren semakin tersungging lebar, Iren menggesekkan dagu di bahu suaminya.
"Biar hubungan kita terasa makin normal. Kayak pasangan lainnya. Selama ini, kita lebih banyak perang dingin dibanding bercandaan bareng, nggak tahu kenapa aku pengin hubungan semacam itu."
"Ayo, aku usahain," ujar Dikta, diikuti anggukan menimbang-nimbang. "Tapi kalau aku bercandain, jangan marah ya kayak waktu kita SD dulu? Entar aku dilemparin sepatu lagi."
"Ih, kamu tuh, ya!" Spontan saja Iren mendorong Dikta menjauh, tetapi tangan Dikta masih tetap mengait sempurna di pinggangnya. "Kamu pas kita SD tuh nyebelin banget! Bisa-bisanya kamu iya-in pas Bima nanya, kita pacaran atau nggak?! Padahal kamu tahu, aku suka sama Bima! Untung pas kita SMP, Bima nembak aku. Dia bela-belain pindah ke sekolah kita loh biar bisa lihat aku tiap hari. Melayang banget aku waktu itu, benar-benar definisi cinta monyet!" Iren mengoceh panjang lebar dengan mata berbinar penuh semangat mengingat kekonyolan masa lalunya.
"Bima ketua kelas?" tanya Dikta pias dengan raut muka yang semakin kecut sama melihat Iren mengangguk semangat.
"Yaa, ituu! Bima Permana, ingat nggak? Kalau kamu nggak ingat, parah banget sih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpisah Itu Mudah (Tamat)
Romance(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) "𝑩𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉?" Celaka dua belas karena Dikta dan Iren harus terjebak dalam pernikahan yang tak mereka inginkan. Cinta tak...