23 | kejujuran

27.5K 3K 491
                                    

Peraturan lapak Fey:
•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm follow

Sebelum baca, coba tebak, kejujuran apa yg dimaksud di part ini?😩👍

Spam love di sini boleh bgt❤️

***

Seingat Iren, semalam ia langsung berbalik badan membelakangi Dikta setelah adegan menye-menyanya tersebut. Namun, pagi ini, kenapa dia kembali ke pelukan Dikta? Iren berusaha bergeser mundur walau sebenarnya ia ingin mendorong Dikta untuk segera melepas pelukannya, tetapi Iren takut Dikta jatuh dari tempat tidur sempit mereka.

Iren berusaha memejamkan mata setelah sadar bahwa ia berhadapan langsung dengan leher Dikta, jakun pria itu ikut naik-turun seiring hembusan napas.

"Jadi begini rasanya bangun tidur di pelukan suami?" bisik Iren dengan suara yang masih serak.

"Dikta, bangun." Iren berdecak. Suasana ini terlalu tiba-tiba baginya. "Apa aku harus teriak gempa dulu baru kamu mau bangun?"

"Hmm."

Respons macam apa itu? Dikta tetap tidak bangun, tentu saja masih memeluk Iren. Rambut berantakan dan bibir kering suaminya menarik perhatian Iren.

"Aku bukan Luna, kamu nggak perlu peluk aku seerat ini."

"Memang bukan Luna," gumam Dikta parau. "Apa salah meluk istri sendiri?"

"Ya, salah. Karena kita bentar lagi cerai." Benar bukan? Iren meringis. "Nggak usah ngelantur deh. Ayo bangun."

Setelah terbebas dari pelukan Dikta, Iren bergegas bangun dan menuju kamar mandi.

"Ih, becek."

Iren bertumpu pada batu-batu agar terhindar dari tanah becek. Namun, pada akhirnya Iren tetap terkena percikan genangan air kecokelatan itu akibat langkah kakinya sendiri. Iren langsung menyiram kakinya dengan air bersih sesampai di kamar mandi, tak lupa pula melaksanakan setoran paginya, mencuci muka, dan menyikat gigi. Kurang dari sepuluh menit, Iren keluar dari kamar mandi dan berpapasan dengan Dikta yang sudah berdiri di depan kamar mandi.

"Sorry, lama ya?" tanya Iren dengan muka yang masih basah.

"Nggak kok, baru aja."

Iren hanya mengangguk. "Ya udah, masuk aja."

Dikta menggaruk tengkuk saat Iren mulai berjalan hati-hati di atas batu.

"Ren," panggilnya diikuti helaan napas panjang.

Iren menoleh, tampak kerutan penuh tanya di keningnya. "Kenapa?"

"Itu—"

Dikta yang menunjuknya tidak jelas membuat Iren bingung.

"Itu apa?"

Dikta berdehem, tatapannya tak bertahan lama ke arah Iren dan beralih menatap asal pepohonan di sekitar.

"Cuma mau ngingetin, kamu nggak pakai bra."

Spontan Iren melebarkan mata. Tanpa bicara lagi, ia langsung kabur ke dalam rumah dengan perasaan panik luar biasa, ia tak peduli lagi walau sendalnya harus menginjak tanah becek dan hampir membuatnya jatuh kala menaiki anak tangga.

"Hati-hati, Ren!"

Dikta ikutan panik melihatnya.

***

Iren rasa, ini adalah titik kedua terberat dalam hidupnya selain dari serba sendirian ketika sedang hamil. Andai Iren tahu kehidupan seperti ini yang akan ia hadapi di tempat yang dinamai RBC oleh ayah mertuanya, mungkin Iren akan langsung kabur dan menolak mentah-mentah ide tersebut. Ia harus mencuci baju sendiri, harus memasak setiap hari, dan mau tak mau harus bersama Dikta hampir dua puluh empat jam setiap harinya.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang