Peraturan lapak Fey:
•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm followTinggalkan love di sini boleh dong💖
***
Iren tidak sanggup bertanya lebih jauh lagi, air matanya dengan cepat jatuh membanjiri pipi. Ia yang semula tertunduk menyedihkan di atas lututnya sendiri kini dipeluk erat oleh Dikta yang matanya ikut memerah melihat istrinya menangis tersedu-sedu.
"Maafin aku, Ren." Dikta mengelus rambut istrinya. "Maafin aku karena udah buat kamu terluka untuk kesekian kalinya."
Ironis, orang yang ia cintai menangis karena perbuatannya.
"Dikta, aku takut," gumam Iren tergugu.
Wajahnya yang dipenuhi air mata bertumpu di bahu Dikta, bahu telanjang Dikta pun ikut basah.
Pernahkah kalian di posisi mencintai orang yang salah tetapi tak ingin melepaskannya? Begitulah kira-kira yang Iren rasakan. Sakit, tetapi ia tidak ingin mereka selesai begitu saja.
Cinta memang buta. Iren tak peduli meskipun akan dicap bodoh karena cinta.
"Jangan takut, Ren. Aku di sini sama kamu."
Iren menggeleng dengan leher tercekat.
"Aku takut nanti kamu berubah pikiran. Meskipun aku istri kamu, tapi Luna lebih lama bareng kamu. A—aku cuma orang baru di hidup kamu," lirih Iren terisak pedih sambil meremas handuk yang mengalung di leher Dikta.
"Nggak akan, Sayang." Dikta melepas pelukannya pada Iren dan memegang bahu wanita itu. Tatapan teduhnya bertemu dengan iris mata milik Iren yang tampak putus harapan.
Itu bagai pukulan telak bagi Dikta.
"Harusnya aku nggak nurutin egoku ya, Ren." Dikta membuang napas yang sangat menyesakkan. "Andai aku tahu akan seperti ini, mungkin aku nggak akan pernah ngajak Luna balikan."
Penyesalan tinggallah penyesalan. Berandai-andai sudah tak lagi gunanya.
"Kamu lebih dulu hadir di hidupku, Ren. Kita udah kenal dari SD," lanjut Dikta.
Jemari pria itu kembali menjelajah naik ke pipi istrinya untuk menghapus air mata kesedihan yang terus-menerus jatuh. Setiap tetes air mata tersebut mampu menghujam batin Dikta penuh penyesalan.
"Hubungan kamu sama Luna lebih lama dari pernikahan kita," elak Iren.
Lantas Dikta menarik napas panjang.
"Bener." Dikta membawa anak rambut Iren ke belakang telinga. "Tapi kamu yang lebih dulu bikin aku jatuh cinta, Ren."
Ungkapan Dikta barusan sukses membuat Iren terkesiap. Iren mengedipkan mata beberapa kali sambil bergumam "hah" penuh rasa tak menyangka.
"Ka—kapan?" Iren terus melongo. Dia tidak sedang mimpi, kan, sekarang?
"Waktu kita SD." Dikta tersenyum kecil membayangkan cinta monyetnya di masa lalu. "Pas kamu suka sama Bima."
Iren semakin melebarkan mata, masih tersisa air mata di kelopak matanya, wajahnya juga masih sembab.
"Kamu pasti bohong."
"Buat apa aku bohong, Sayang?" Dikta terkekeh. Kemudian, dengan berani ia mencium pipi sembab istrinya. Untungnya, Iren tak marah dicium tanpa izin lebih dulu.
"Siapa tahu kamu bohong buat ngehibur aku doang. Iya, kan?"
Iren tidak percaya jika Dikta pernah naksir padanya waktu mereka masih sekolah dasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpisah Itu Mudah (Tamat)
Romance(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) "𝑩𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉?" Celaka dua belas karena Dikta dan Iren harus terjebak dalam pernikahan yang tak mereka inginkan. Cinta tak...