25 | ragu

25.5K 3.4K 1.9K
                                    

Peraturan lapak Fey:
•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm follow

Spam love di sini boleh bgt❤️

***

"Kamu siap jauhin semua tentang Luna kalau aku udah bilang iya?"

Dikta mengangguk yakin. "Aku siap, Ren."

Bukan karena merasa terpaksa, melainkan karena Dikta benar-benar ingin memperbaiki rumah tangga mereka yang hampir retak.

Gerakan pelan Iren mencuri perhatian Dikta, istrinya itu berbalik badan.

"Kamu cuma becanda, kan?" Lirikan lemahnya perlahan mengarah pada Dikta. Namun, pria itu tetap merasa dipandang nyalang.

"Aku serius, Ren," jawab Dikta diikuti helaan napas.

"Aku nggak percaya."

Baru sekitar satu minggu yang lalu Iren mendengar ancaman Dikta yang mengatakan bahwa Una akan ikut bersamanya jika mereka cerai. Terlalu tiba-tiba bukan? Apa memang semudah itu Tuhan membolak-balikkan hati manusia? Kenapa Dikta tiba-tiba tidak ingin bercerai padahal sebelumnya pernah mengiakan?

"Nggak percaya gimana?" bisiknya rendah. Salah satu tangannya kini bertengger di pipi Iren.

"Kamu pasti cuma main-main, kan?"

Dikta paham mengapa Iren sulit mempercayainya.

"Nggak, Ren," jawabnya menggeleng kuat. "Kasih aku kesempatan untuk perbaiki semuanya, Ren. Siapa tahu hubungan kita masih bisa diselamatkan."

"Aku nggak yakin. Kayaknya bakal sia-sia."

Iren benar-benar telanjur skeptis. Dikta terlalu abu-abu baginya, juga terlalu putih untuk menawarkan hubungan berkelanjutan yang terlalu mendadak.

"Atas dasar apa kamu nggak mau kita cerai?" Iren memandang lurus Dikta yang juga balas menatapnya dengan kerutan yang terus terbentuk seiring penantian pria itu.

Bukannya langsung menjawab pertanyaan Iren, Dikta malah memajukan wajah sebelum bibirnya berhenti di kening Iren, ia mengecup kening istrinya dengan khidmat dalam waktu yang cukup lama. Iren sesak napas dan melotot penuh akibat perlakuan Dikta. Sungguh, ia tak mampu bergerak sedikitpun.

Dikta berdehem canggung, ia menarik bibirnya beberapa senti dari kening Iren sebelum mengungkapkan isi hatinya.

"Nggak sulit, Ren, untuk jatuh cinta sama wanita yang udah ngelahirin anak aku," bisik Dikta yang sebagian hatinya disisipi keraguan akan beberapa hal.

Iren semakin melotot mendengar penuturan Dikta.

"Kamu ngelantur, kan?" Iren membuang napas kasar sambil memalingkan wajah, sungguh Iren diselimuti rasa canggung jika harus bertatapan dengan Dikta lebih lama lagi.

"Aku harus gimana biar kamu percaya?" Dikta mendesah, lalu mengacak rambutnya kasar.

"Apa aku harus bilang dulu kalau aku udah cinta sama maminya Una sejak lama, bahkan sebelum Una lahir? Apa itu nggak cukup?"

Iren melongo hebat. Dikta nyelami kedua mata istrinya dengan pasrah. Alih-alih merespons satu-dua kata, Iren justru tetap tak berucap apa pun—lebih tepatnya tidak mampu berkata-kata apa pun.

"Apa harus gini, Ren?"

Dikta kembali mendekatkan wajahnya pada Iren hingga kini napas mereka saling beradu. Sebelah tangan Dikta merengkuh tengkuk Iren, lalu memajukan wajah dan menyatukan bibir mereka. Sesaat Dikta terdiam dalam posisi bibir mereka yang masih tertaut, kini bibir Dikta bergerak memberi lumatan-lumatan kecil pada bibir hangat Iren. Sementara itu, Iren yang dicium sedemikian dalam oleh Dikta hanya bisa menahan lenguhan. Tindakan Dikta tersebut sungguh memberi efek besar pada tubuh Iren yang kini sedikit gemetar seiring debar jantungnya yang semakin menguat.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang