2 2 .

536 61 3
                                    

Menutup hari dengan wajah menyebalkan Jovian atau melihat kelakuan trio gembrot yang semakin hari semakin berkurang akhlaknya ternyata jauh lebih baik ketimbang dengan sebuah deret pesan dari maminya yang sayangnya memberi kabar kurang mengenakan.

Papi didiagnosa stroke dan parahnya saat ini dalam kondisi vegetatif. Penyebab lainnya karena kepala papi terkena benturan dan memicu trauma saat jatuh.

Kabar buruk mungkin lebih tepat.

“Mau mampir dulu?”

“Lo mau beli sesuatu?”

Dennis menatapnya lewat mirror rear view. Masalahnya tumben banget ini nyai nawarin, biasanya caci maki tak luput hanya perkara Dennis bertanya begitu. Bukannya apa-apa Dennis ini agak lain soalnya. Tapi, melihat tatapan kosong Selina membuat niat hati ingin memeras atasan itu menjadi urung. Gitu-gitu Dennis peka orangnya.

“Kagak sih.” jawab Dennis sekananya, ia pun melirik Selina lagi yang terlihat tak bereaksi terhadap jawabannya. Dennis yang semula mengajak Selina bicara kini mulai diam, memilih memutar playlist lagunya agar suasana sedikit membaik.

Kantuk yang semula menyerangnya hilang begitu saja begitu pesan sejam yang lalu baru saja ia baca. Wajahnya terlihat tampak tenang, lain halnya dengan hati kecilnya yang tak bisa berbohong. Selina tidak bisa menghilangkan rasa sedihnya. Rasa sedih lebih dari sekadar mengingat bahwa keluarga yang tersisa saat ini hanya Papinya. Fakta bahwa orang yang menyayanginya dengan tulus hanya Papinya terus terngiang membuatnya kepalanya berdenyut.

Pada akhirnya darah akan tetap lebih kental dari air.

Wahit, panggilan baru Leo, si satu-satunya anaknya Sola yang bertahan. Wahit yang mana singkatan warna hitam ini sudah aktif dan tampak sehat. Melihatnya mengampirinya seolah seperti menyambutnya membuat hati Selina sedikit lebih baik. Well, Wahit sepertinya menjadi kucing kesayangan Selina saat ini, terlihat dari perlakuanya yang tampak pilih kasih kepada kucing lainnya. Selina tidak merasa seperti itu sih, karena mereka sudah mendapatkan banyak cinta dari sang bucing sejati siapa lagi kalau bukan suaminya tercinta.

Rumah tampak kosong, Bi Sumi tampaknya sudah tidur mengingat saat ini sudah nyaris subuh. Jovian? Akhir-akhir ini dia lebih betah di apartemen pribadinya. Pun dengan Trio Gembrot tidur di singgasananya masing-masing.

Lampu temaram, didukung dengan suara dentingan jam yang tak dapat menghalau kesunyian, dan Wahit yang telah kembali menyusu pada induknya.

Sepi sekali rasanya.

Matanya kini tak bisa membendung lagi air matanya saat melihat foto pernikahannya bersama kedua keluarga yang terpajang besar di ruang tamu yang tanpa sengaja ia pandang.

Rasanya berkecamuk dan tak menentu.

Padahal dulu ia selalu teriak bahwa papinya adalah orang yang membuatnya menderita, papinya adalah orang yang pantas disalahkan karena menyeretnya pada kesengsaraan. Tapi, entah mengapa Selina kini justru merasa bahwa ia tidak bisa hidup tanpa papinya. Papinya tumpuan hidupnya.

Rumah dua lantai ini ternyata masih terlalu besar untuk ia tempati, padahal lantai dua tidak pernah Selina pakai dan hanya dibersihkan saja oleh Bi Sumi. Tepatnya, tidak ada yang boleh menempati lantai dua.

Masih dengan mata yang beruraian air mata, Selina berjalan menuju tangga yang tidak jauh dari dapur. Untuk pertama kalinya setelah ia memutuskan kembali tinggal di sini, Selina berani menuju lantai dua, kakinya yang sebelum-sebelumnya enggan hanya sekadar menginjak tangga, kini ia malah berani untuk menginjak tempat yang paling ia benci sekaligus paling berharga.

Lantai dua memiliki ruang keluarga, satu kamar mandi di dalam kamar yang memiliki balkon kecil. Di samping balkon kecil tersebut terdapat balkon yang lebih luas. Selain itu lantai dua merupakan lantai untuk laundry, dan terdapat balkon khusus menjemur pakaian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Me vs. Mr. HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang