Perkara jodoh sungguh sangat rahasia. Mencari hingga seribu kota, tak tahunya berjodoh dengan tetangga. Berkelana hingga ke ujung dunia, berakhir dengan sahabat masa kecilnya. Sungguh kita bisa berharap tapi tidak dapat memaksa.Layaknya cerminan diri, kita hanya bisa berintrospeksi. Terus berusaha memantaskan diri untuk pasangan terbaik versi Ilahi.
***
Sudah jam delapan malam, tapi warnet itu justru bertambah ramai saja. Banyak sekali warnet di sepanjang jalan Malabar, karena memang bersebelahan dengan kampus. Gamma Warnet menjadi salah satu favorit banyak mahasiswa termasuk aku. Letaknya sedikit masuk gang, tapi tempatnya nyaman. Ada tempat salat, kamar mandi yang cukup bersih, aneka minuman di lemari pendingin, bahkan makanan ringan tersedia.
Mas Gama pengelola warnet itu juga terkenal ramah, suka membantu dan pembawaannya asyik. Wajar pelanggannya terus bertambah. Bahkan beberapa mahasiswa terkadang sampai menginap karena harus mengejar date line skripsinya.
"Hoaaam... Duh, tumben jam segini udah ngantuk. Mana nih si Bayu?" Embun bermonolog.
"Hai Em, capek banget kayaknya, lo." Sebuah tepukan mengagetkan Embun.
"Panjang umur banget lo, Bay. Udah gue tunggu." Bayu meletakkan ranselnya di dekat CPU yang berada di bawah meja. Kemeja panjangnya sudah dilipat sebatas siku.
"Kenapa? Udah kangen lo Em sama gue. Gue bela-belain pulang kerja langsung ke sini jemput lo," ledek Bayu.
"Kangen Mbahmu. Emang harus gitu kalau mau skripsi lo cepet kelar. Nih dicek dulu, udah gue ketik sampai pembahasan. Lo asal-asalan banget sih bikin pembahasan. Gue kudu ngerombak sambil mikir, baca referensi, karena gue nggak ngerti-ngerti banget penelitian lo."
"Keren banget memang sahabat gue yang satu ini," sahut Bayu sambil merangkul Embun.
"Heh, coba dikondisikan itu tangan. Mau cek dulu nggak? Gue laper, ngantuk juga," cerocos Embun galak.
"Nggak perlu lah. Gue percaya sama lo. Ya udah, yuk! Gue bayar dulu. Dari jam berapa tadi ngerental?"
"Dari jam empat sore tadi. Gue kan musti ngajar dulu. Habis ngajar baru ke sini."
Bayu menatap Embun penuh sayang sambil menepuk bahu gadis itu.
"Lo hebat banget sih, Em. Jaga kesehatan ya, jangan kecapekan," ucap Bayu tulus.
"Tumben lo perhatian, habis makan apa tadi ?" Dahi Embun mengernyit.
"Lah, kan dari dulu juga gue perhatian. Sayang lagi sama lo."
"Prett! Ya udah bayar dulu sana, gue mau ke toilet dulu." Embun bergegas menuju ke toilet, mengosongkan kandung kemihnya.
Setelah urusan bayar membayar selesai, mereka beriringan menyusuri jalan Malabar. Suasana masih ramai. Warung makan di kanan kiri jalan masih banyak yang buka. Banyak pilihan dengan harga yang cocok untuk kantong mahasiswa.
"Makan apa, Em?" Bayu menarik tangan Embun saat ada kendaraan yang melintas.
"Pingin yang anget-anget. Mi godok atau soto gitu," sahut Embun. Cuaca yang dingin memang enak menyantap sesuatu yang hangat.
Tak berapa lama mereka sampai di sebuah kedai soto. Hanya ada empat orang pelanggan saja, mungkin karena sudah malam juga. Bayu memilih meja di dekat jendela.
Tak lama pesanan mereka datang. Dua mangkok soto daging dan dua piring nasi, lengkap dengan dua gelas teh hangat yang masih mengepulkan asap. Aroma soto yang menguar membuat perut semakin lapar.
"Kenapa soto, bukan mi godok? Enak padahal," ucap Embun sambil menyantap sotonya.
"Biar lo makan nasi. Lihat tuh badan lo tambah ceking aja. Jangan-jangan berat badan turun lagi," sahut Bayu berapi-api.
"Gue makan nasi kok. Tadi siang juga gue makan nasi pakai ikan tongkol sama oseng kacang. Gue kan memang begini, nggak bisa gemuk." Embun mulai meracik soto di hadapannya. Ditambahkannya dua sendok sambal dan sedikit kecap manis. Tak lupa perasan air jeruk nipis yang menyegarkan.
"Pokoknya lo harus makan yang bergizi. Dan menurut gue, soto jauh lebih bergizi dibanding mi," sahut Bayu tegas.
"Bay, lo kenapa sih dari tadi sewot. Ada masalah di kerjaan?"
Bayu hanya bisa menghela napas lelah.
"Nggak ada. Kerjaan aman. Gue justru khawatir sama lo, Em. Kayaknya akhir-akhir ini lo nggak ada istirahatnya. Kampus, perpustakaan, ngajar, ke warnet, gitu terus. Istirahat kalau memang capek. Nggak usah maksain." Bayu menatap lembut gadis di sebelahnya.
Embun mengaduk sotonya pelan. Matanya menerawang. "Lo kan tahu masalah gue. Bapak gagal panen dua musim, gue harus bisa bertahan tanpa kiriman dari Bapak." Embun menyeruput kuah soto yang akan segera dingin kalau tidak segera disantap. Gurihnya kaldu beradu dengan pedas sambal dan asam perasan jeruk begitu memanjakan lidahnya.
Bayu kembali menghela napas panjang, merangkul pundak sahabatnya dan mengelusnya lembut seolah ingin menyalurkan kekuatan.
"Em, mau ya jadi pacar gue," ucap Bayu lembut. Tatapannya mengunci sepasang bola mata tegas dan tegar gadis itu.
"Ha? Ngapa tiba-tiba ngajak pacaran? Ogah ah. Males," jawab Embun sambil melongo.
"Lo selalu nolak bantuan gue Em, setidaknya kalau kita pacaran, gue bisa lebih ngelindungi lo. Gue tahu kalau lo juga paham dengan isyarat dari gue. Gue sayang banget sama lo." Bayu berusaha meyakinkan Embun.
"Bay, gue ini udah dewasa. Bisa jaga diri sendiri. Lagian gue belum mikirin pacaran-pacaran gitu. Gue mesti fokus biar skripsi cepet kelar, bisa cepet dapet kerja juga. Gue harus bantu Bapak. Adik gue masuk kuliah tahun ini. Banyak yang masih pingin gue raih, Bay. Lagian lo kan posesif. Males lah gue, entar lo ngelarang gue jalan sama temen-temen yang lain, apalagi lo tahu temen gue kebanyakan cowok," kilah Embun.
"Susah banget sih dapetin lo, Em." Bayu mendesah lelah.
"Lagian ngapain lo tiba-tiba ngajak pacaran. Lo kasihan ya sama gue?" Embun melotot curiga.
"Ya Allah, Em. Su'udhon banget sih, lo. Ya gue mau sama lo. Cinta sama lo. Duh Gusti... punya sahabat teh gini amat." Bayu mulai kewalahan menghadapi sahabatnya yang keras kepala. Tiga tahun bersahabat dengannya membuatnya sedikit banyak hafal sifat gadis manis berhidung bangir itu.
"Yaelah, Bay... Cinta-cinta, pusing gue."
"Em, jujur ya. Lo sayang nggak sih sama gue? Apa gue salah membaca perhatian lo selama ini?"
"Ya sayang lah. Kalau gak, ngapain gue mau bantuin ngetik skripsi lo. Mending gue cuekin aja gak peduli lo mau lulus atau enggak. Harus sayang atuh sama sahabat baik."
Bayu tersenyum bahagia. Matanya ikut berbinar.
"Ngapain lo cengar-cengir, jadi takut gue." Embun sedikit menjauh dari Bayu.
"Setidaknya lo sayang sama gue, Em. Siapa tahu kita berjodoh. Ya nggak? Masih ada harapan..." sahut Bayu senang.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice Of Life (Cerita Kita)
General FictionManusia tidak akan pernah tahu kehidupan di depan sana. Tidak bisa mengira walau hanya semenit saja. Begitu juga aku. Untukku, hidup seperti menaiki tangga. Untuk mencapai tangga ke seribu aku hanya perlu menapakinya satu per satu