Bungaku kudengar panggilmu...
Bungaku aku pun rindu...
Maafkan, kuharus pergi
Mengejar semua mimpi yang berarti
Cobalah tuk hayati hadirmu
Bintang pun tak dapat menggantikan hadirmu...Sayup-sayup Embun mendengar petikan lembut gitar di dekatnya. Alunan nada dan lirik lagu "Bungaku" dari Boomerang membius indra pendengarannya. Rupanya gadis itu tertidur. Netranya melirik jam dinding yang menggantung di dekat pintu masuk, jam sebelas malam.
Embun merasa tubuhnya lelah sekali. Siang tadi dia harus mengampu materi survival sebagai pelatihan dasar pencinta alam untuk adik-adik tingkat. Apalagi perjalanan dari Kawah Ratu dengan medan yang tidak mudah. Walaupun sudah lulus, Embun masih aktif dalam organisasi Pencinta alam di kampusnya dulu.
Gadis itu bangun dan bangkit dari dipan yang tadi menopang tubuhnya. Di sebelah dipan, dilihatnya Awan tengah bersender pada pilar kayu sambil memainkan gitarnya.
"Eh sorry, keganggu genjrengan saya ya," bisik Awan merasa bersalah.
"Ah enggak kok. Enak banget malah suaranya," balas Embun.
"Terus kenapa bangun, tidur lagi aja, kayaknya kamu capek banget, sampai mendengkur." Pria berkupluk hitam itu menaik-naikkan alisnya yang tebal menggoda Embun.
"Saya mau ke air sebentar ya." Embun pamit sambil berbisik, tidak ingin membangunkan teman-teman yang lain.
"Tunggu. saya antar."
Sebenarnya Embun tidak mau merepotkan pria tampan temannya itu, tapi dia sudah meletakkan gitarnya dan berjalan mengikuti Embun.
Malam ini sebagian panitia Pendidikan Dasar bermalam di tenda dekat dengan peserta. Sebagian lagi di sini. Sebuah rumah singgah sederhana semi permanen. Dindingnya sebagian masih berupa gedek, atapnya genting tanah liat tanpa plafon. Udara dingin pegunungan yang bebas masuk dari celah-celah bangunan, membuat Embun mau tak mau merapatkan sweter yang dipakainya.
Dilihatnya beberapa teman panitia masih rapat untuk kegiatan esok hari. Sebagian lagi masih mengobrol di teras, di atas balai bambu dengan hidangan kopi dan gorengan yang sudah tidak hangat lagi.
Embun menyapa beberapa teman dan berjalan menuju toilet yang berada 50 meter dari rumah. Kondisi jalan ternyata cukup licin karena seharian tadi hujan turun cukup deras. Embun sudah hampir jatuh terpeleset andai Awan tidak segera meraih pergelangan tangannya.
"Hati-hati," bisik pria itu tepat di telinganya.
"Udah sampai Wan, ini gak perlu kan kamu gandeng saya terus?" ucap Embun tersipu.
"Kalau ngomong tuh liat orangnya dong," ucap Awan.
Sekilas Embun menatap lelaki di sampingnya. Rambutnya yang mulai panjang lagi, dibiarkannya bebas dipermainkan angin malam. Rahangnya yang tegas, bibir tipis, hidung bangir, gaya berpakaiannya yang santai dan pembawaannya yang easy going menjadikannya satu paket komplit yang membuat pria itu begitu menarik. Sudah beberapa temannya yang memuji Awan.
Embun hanya tersenyum sekilas kemudian masuk ke salah satu bilik toilet yang sangat sederhana. Setelah menuntaskan hajat, segera dihampirinya Awan yang sedang menghisap rokoknya dalam-dalam, sambil matanya menatap langit yang malam ini penuh bintang.
"Katanya udah berhenti ngerokok. Sekarang kok lagi?" sela Embun.
"Satu batang aja ya, Em. Buat ngusir dingin sama mulut asem." Awan hanya menyengir sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai permohonan maaf.
"Ya udah, yuk balik!" ajak Embun.
"Bisa ngobrol sebentar nggak, Em? Di kursi depan aja, mumpung kosong." Awan sudah menarik tangan Embun menuju ke bagian depan rumah sebelum Embun mengiyakan.
Embun sebenarnya masih bingung dengan hubungan mereka. Berawal dari sebuah perjalanan membuatnya belum terlalu mengenal Awan. tapi karena merasa klik, mereka pun berlanjut berteman hingga sekarang.
Awan sengaja ikut datang ke acara Diksar ini karena ingin tahu teman-teman dan lingkungan Embun, selain di kampus.
"Kamu mau minum atau makan, Em?" Netra Awan yang gelap sepekat malam menatap Embun lembut.
"Nanti aja saya pesen wedang jahe," jawab Embun. Cuaca dingin dan menyeruput jahe panas sepertinya bisa menjadi kombinasi yang pas.
"Ah, sekalian aja ya, saya pesenin." Awan langsung beranjak memesan jahe ke ibu warung di dalam rumah.
Mereka sama-sama terdiam. Menikmati angin malam yang makin menusuk kulit.
"Em, sebenarnya saya pingin hubungan kita lebih serius lagi. Umur saya juga sudah cukup matang untuk berumah tangga. Saya merasa kita cocok. Kamu sudah lulus. Kerjaan juga sudah ada. Kita menikah ya."
Napas Embun tercekat. Gadis itu memang pernah bercita-cita untuk menikah muda, umur 22 tahun. Tapi setelah usianya menginjak 22 tahun, dia justru diliputi keraguan. Masih banyak hal yang ingin diraihnya. Dia merasa belum membahagiakan Bapak dan Ibunya karena baru saja bekerja. Belum lagi janji Embun pada Bapak untuk meneruskan kuliah lagi sampai Sarjana.
"Em, please tell me something. Kamu syok ya? Aku terlalu tiba-tiba?" Kali ini manik mata Awan memaku Embun. Pria itu menangkupkan tangan besarnya di telapak tangan Embun.
Embun hanya bisa terpaku, lidahnya kelu, kepala gadis itu tiba-tiba kosong dan dia tidak tahu arah yang ingin dituju saat ini. Dia berharap kegelapan bisa menelannya sekarang. Embun tidak tega menyakiti laki-laki baik di depannya. Tapi dia sendiri juga tidak tahu apa kemauannya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice Of Life (Cerita Kita)
General FictionManusia tidak akan pernah tahu kehidupan di depan sana. Tidak bisa mengira walau hanya semenit saja. Begitu juga aku. Untukku, hidup seperti menaiki tangga. Untuk mencapai tangga ke seribu aku hanya perlu menapakinya satu per satu