Mulai dari Nol

5 1 2
                                    


Tiga bulan sudah Embun bekerja di Bogor. Saat ini gadis itu sedang senang-senangnya menikmati punya uang sendiri. Namun, mendapat gaji yang lebih dari cukup, tidak membuatnya terlena. Apalagi adiknya di kampung masih sekolah. Sebagian dari penghasilan yang didapatnya dikirimkan untuk kebutuhan di kampung. Sebagiannya lagi dipakainya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Bayar kos, makan dan ongkos transpor.

"Jadi lanjut kuliah nggak?" tanya Ari sambil mengulurkan beberapa brosur penerimaan mahasiswa baru kelas ekstensi.

Rasanya tidak mungkin ikut kelas reguler. Sementara dia harus bekerja.

"Kayaknya aku tahun depan aja, Ri. Duitnya belum cukup kalau buat kuliah sekarang," jawab Embun sambil otaknya seketika berhitung.

"Kalau tahun depan, lulusnya tambah lama dong. Kapan nikahnya? Keburu tua," sahut Ari.

Benar juga sih. Tapi kalau mau dipaksakan malah repot nantinya.

Lalu pikiran Embun menerawang mengingat Awan yang makin jarang datang. Pekerjaan barunya di sebuah perkebunan, dengan jam kerja lebih panjang termasuk sabtu minggu, sedikit menyulitkan mereka bertemu.

"Ah, kalau jodoh juga tetep ketemu lah nanti," ucap gadis itu bermonolog. "Tapi kalau ditinggal nikah, gimana dong?" pikirnya lagi.

"Ya berarti bukan jodoh," bisik Ari yang ternyata dari tadi menyimak gumaman Embun.

***

Hari minggu pagi Embun sudah bersiap untuk olahraga. Lari mengelilingi Kebun Raya menuju lapangan Sempur. Di hari minggu, lapangan itu menjadi surganya kuliner bagi para pemburu sarapan lezat. Semua lengkap tersedia, mulai makanan ringan sampai kelas berat. Dari jenis yang paling tradisional sampai yang paling modern. Dengan cita rasa paling eastern hingga western.

Hari ini Embun sudah janjian bertemu dengan sahabat-sahabatnya.

Suasana lapangan Sempur sudah sangat meriah. Sebuah panggung kecil yang berada di bagian depan tengah digunakan instruktur senam yang akan memimpin senam hari ini.

Sementara di salah satu area pinggir lapangan, enam orang sahabat sedang menikmati sarapan masing-masing dengan jenis yang berbeda-beda. Nasi uduk, lontong sayur, bubur ayam, somay, cilok, menjadi pilihan masing-masing.

"Em, gimana? Jadi kuliah lagi nggak? Kan elo yang bertugas nyari info." Bayu mulai membuka forum diskusi. Walaupun disediakan kursi-kursi plastik di setiap pedagang sarapan, mereka berenam memilih untuk duduk melingkar di atas rumput yang masih sedikit basah oleh embun.

"Ntar dulu ah, Bay. Gue masih makan. Udah gue catet semuanya tinggal dianalisa terus dipilih," ucap Embun yang masih menikmati bubur ayam tanpa diaduk di mangkoknya. Tidak perlu didebat. Menurutnya, biarkan kelezatan bubur, bumbu, ayam, kerupuk dan semua yang jadi topingnya diaduk di dalam lambung saja, bukan di piring atau mangkoknya.

"Kalau gue kuliahnya tahun depan aja gimana? Kayaknya duitnya belum cukup. Jadi kalian berlima aja duluan, ntar gue nyusul," usul Embun.

Enam sahabat itu bekerja di tempat yang berbeda. Ayyash di Jakarta, Yani di Sukabumi, Bayu di Tangerang, Nay belum bekerja, sedangkan Embun dan Mas Bara di Bogor. Hanya Mas Bara yang bukan teman satu angkatan, tapi kakak kelas. Saling berjauhan secara geografis, membuat enam sahabat itu hanya bisa berkumpul di hari sabtu atau minggu. Itu pun dengan catatan, tidak ada yang lembur atau kena shift malam.

"Ya nggak bisa kayak gitu dong, Em. Kalau mau kuliah tahun ini ya harus bareng semua. Masalah biaya, kan busa dirundingkan," sela Bayu. "Gimana yang lain, setuju nggak sama gue?" lanjutnya.

Teman-teman yang lain hanya ikut mengamini pertanda setuju.

Embun mulai mengeluarkan brosur-brosur dari beberapa universitas yang sudah dia cari informasinya. Di kertas yang lain, sudah ditulisnya secara detail perbandingan dari beberapa universitas itu.

"Kalau kita ke Juanda, jurusan favoritnya Teknologi Pangan. Tapi jumlah SKS yang kita ambil masih banyak banget. Karena yang diakui hanya mata kuliah dasar aja. Terus biayanya segini."

Embun terus menjelaskan semua yang sudah ditulisnya dengan lihai layaknya seorang dosen yang memberi kuliah mahasiswanya.

"Nah udah semua nih. Tinggal dianalisa. Dilihat lagi tujuan kita mau kuliah lagi buat apa? Mau yang cepet atau lama, sama biayanya mau yang bagaimana?" tutup Embun akhirnya

"Ya kalau gue sih buat ngejar S1 aja. Kalau bisa yang cepet dan biayanya terjangkau," ucap Bayu tegas dan diamini juga oleh yang lain.

"Ya kalau gitu udah jelas kan? Jawabannya Nusa Bangsa.

"Sekarang masalah biaya. Kita nggak mungkin kuliah sekarang kalau Embun nggak bareng, otaknya aja ada di dia. Jadi usulan gue, kita pikul bersama buat uang masuk sama SPP, gimana? Sampai Embun stabil aja isi kantongnya." Bayu kembali memberi usulan.

"Wah, gue hutang budi dong kalau gitu," protes Embun.

"Nggak ada tuh yang namanya hutang budi sama sahabatnya," sahut Bayu lagi.

Mereka berenam akhirnya bersepakat untuk mendaftar bersama. Dengan biaya ditanggung bersama sesuai kemampuan masing-masing.

Embun merasa tergetar hatinya dengan perhatian dari sahabat-sahabatnya.

"Bismillahirrahmanirrahim... Kita mulai lagi dari nol. Belajar lagi demi masa depan. Mudah-mudahan Allah lancarkan semua urusan," ucap Bayu menutup diskusi.

Perjuangan baru mereka akan segera dimulai. Semoga Tuhan mengijabah dan meridhoi.

Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang