Udara Bogor siang ini sangat bersahabat. Embusan angin sepoi-sepoi menari-nari, mengusik sejoli yang tengah berdiam diri. Menikmati gemericik air mancur Istana Bogor yang terdengar dan terlihat keindahannya dari tempat mereka menyepi. Di depan danau kecil Kebun Raya Bogor."Jadi kamu udah nggak kerja di Cikarang lagi," tanya Awan. Ditengokkan wajahnya ke arah si gadis yang masih memejamkan mata, menikmati damainya suasana.
Hanya anggukan pelan yang diberikan gadis itu.
Sebuah usapan lembut di pucuk kepala sang gadis membuat netranya terbuka pelan.
"Aku nungguin kamu buat cerita, untuk diskusi, berkeluh kesah. Tapi kamu nggak ada kabar. Nggak nelepon, nggak dateng juga. Sementara aku nggak tahu harus ngehubungin kamu ke mana. Nomor yang kamu kasih, kata kamu nomor Bibi yang di Bandung. Aku hanya boleh nelepon kalau kondisi genting aja. Sementara terakhir kali kamu bilang, kerja di Jakarta. Aku udah kayak orang linglung. Harus memutuskan hal penting kayak gini dalam waktu singkat tanpa ada yang bisa aku ajak sharing." Panjang lebar Embun menumpahkan kekesalannya beberapa minggu belakang.
Awan menatap si gadis penuh sayang. "Maaf...," ucapnya lirih.
Satu kata yang bisa meruntuhkan segala kesal, resah dan marah yang bercokol di dada.
"Saya lagi banyak kerjaan minggu lalu. Maaf nggak menyempatkan buat menelepon. Saya nggak nyangka kamu mau melibatkan saya dalam urusan sepenting ini." Awan tersenyum. Digenggamnya jemari gadis di sampingnya. Dia ingin detak waktu terhenti sejenak hingga dia bisa sedikit saja puas dengan bahagia yang dirasanya sekarang.
"Tahu nggak sih aku tuh sampai bikin analisa. Plus minus, kelebihan dan kekurangan masing-masing perusahaan sampai berlembar-lembar. Aku nggak berani ngasih tahu Bapak karena takut orang rumah pasti ikut resah." Penuh semangat si gadis bercerita. Sementara Awan menyimaknya dengan atensi penuh, seolah si gadis di hadapannya adalah pusat dunia.
"Saya yakin keputusan yang kamu ambil pasti yang terbaik." ucapnya lagi.
"Iya, Wan. Aku balik lagi ke Bogor biar bisa ngelanjutin kuliah seperti janjiku dulu sama Bapak. Lagian yang di Bogor gajinya lebih gede. Dan pastinya bisa lebih gampang kita ketemuan." Embun membuka tasnya, mengulurkan dua lembar kertas yang langsung diterima dan disimak dengan teliti oleh Awan. Surat kontrak kerja Embun yang baru.
Awan membacanya sambil mengangguk-anggukkan kepala, pertanda mengerti.
"Kereen..." sahut pria itu singkat.
"Sebenarnya ada yang mau saya sampaikan juga, Em." Awan menarik napasnya panjang. "Kerjaan saya yang di Jakarta sudah selesai kontrak. Kemungkinan saya akan balik lagi ke Bandung. Cari kerjaan di sana. Kalau kamu punya informasi lowongan pekerjaan boleh juga dikasih ke saya. Apa saja yang penting halal," lanjut pria itu.
Ada rasa sedikit rendah diri di hati Awan melihat semua pencapaian Embun. Sedangkan rasa-rasanya dia semakin mundur saja. Ijazahnya yang hanya lulusan STM membuatnya tidak leluasa mendapat kesempatan.
"Terus kita gimana?" tanya Embun resah. Gadis itu bingung, dia berusaha mendekat, tahunya yang mau didekati malah makin menjauh secara jarak. Embun bukan penganut LDR.
"Kamu maunya gimana? Saya juga bingung, Em. Kamu belum menjawab pertanyaan saya waktu di gunung dulu, kalau saya mau serius sama kamu. Tapi kenapa rasanya saya semakin jauh buat bisa menggapai ke arahmu." Sorot mata setajam elang Awan menembus manik Embun hingga sampai ke seluruh jiwanya.
"Kami dikelilingi sahabat-sahabat yang siap sedia kapan pun saat kamu membutuhkan mereka. Giliran kemarin kamu butuh saya, sayanya nggak tahu entah ke mana," gumamnya.
"Sebentar... Maksudnya gimana sih, Wan. Aku nggak pernah loh ngomongin perbedaan antara kita. Beda tingkat pendidikan, pekerjaan, atau apa lah. Aku kan nggak pernah lihat ke sana. Kalau masalah kuliah lagi, itu karena sudah janjiku pada Bapak." Nada suara Embun sedikit meninggi. Hari ini gadis itu hanya ingin menenangkan diri bukan malah merunyamkan emosi.
"Maaf... Maafkan saya, Em. Saya jadi merusak suasana. Saya hanya insecure aja. Saya jadi kepikiran, kamu belum jawab pertanyaan saya karena memang target kamu berumah tangga mungkin masih jauh. Tapi oke. Itu hak penuhnya kamu. Saya dukung kamu semampu saya." Awan merengkuh pundak Embun pelan. Tidak ada lagi kata yang terucap, biarkan hati yang sejenak berbicara. Mengurai rindu dari rentang jarak dan waktu yang berlalu. Hingga kepala gadis itu tersandar di pundak lebar yang begitu nyaman.
Saat ini biarkan rasa yang bicara, tanpa campur tangan emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice Of Life (Cerita Kita)
General FictionManusia tidak akan pernah tahu kehidupan di depan sana. Tidak bisa mengira walau hanya semenit saja. Begitu juga aku. Untukku, hidup seperti menaiki tangga. Untuk mencapai tangga ke seribu aku hanya perlu menapakinya satu per satu