Awan - Embun

7 1 1
                                    


Jam sepuluh pagi Embun sudah menunggu Awan di pintu keluar stasiun. Gadis itu bersenandung sambil memikirkan akan ke mana mereka hari ini. Dua hari ini Embun ingin benar-benar menyegarkan hati dan pikirannya. Beruntung sahabat rasa pacarnya itu datang.

Dari sekian banyak penumpang yang turun dari kereta listrik jurusan Jakarta-Bogor itu, muncullah sosok yang beberapa minggu ini Embun tunggu kehadirannya. Ibarat lagu, pria itu shining like a candle in the dark, hingga sinarnya langsung tertangkap netra Embun.

Begitu pun dengan Awan, dengan senyum secerah matahari pagi, langkahnya mengalun penuh semangat ke arah gadis yang tanpa sadar sudah memenjarakan hatinya.

"Udah lama nunggu," tanya Awan.

"Baru. Belum sepuluh menit kok," jawab Embun santai.

"Padahal nggak papa saya aja yang nunggu. Kasihan kamu berdiri begini."

Embun hanya menanggapi dengan senyum di bibirnya.

Sejoli itu pun melangkah beriringan menjauh dari kebisingan kereta. Jalanan yang cukup padat membuat mereka tak lagi berjarak.

"Haus nggak, Wan?"

"Kok, Wan lagi sih. Aa atuh," protes pria berkulit putih bersih itu.

"Aa mau es krim?" tanya Embun sambil mengerling.

"Mau. Yuk."

Embun mengajak Awan duduk di bawah pohon rindang di Taman Topi. Tempat ini menjadi salah satu arena bermain untuk anak, yang cukup legendaris di Bogor. Letaknya dekat sekali dengan Stasiun Bogor. Itu juga yang menjadi salah satu daya tariknya. Pengunjung dari seputaran area Jabodetabek bisa menjangkaunya dengan mudah. Cukup dengan naik kereta sampai Bogor untuk selanjutnya berjalan kaki saja.

Di sekitaran taman itu, banyak pedagang kaki lima menjajakan aneka makanan lezat khas Bogor. Salah satunya es krim durian ini. Bukan es dari susu, tapi es putar dari bahan dasar santan, kemudian dicelupkan ke saus durian yang harum dan lembut. Embun memesan dua cone es krim durian yang wangi dan super lezat.

"Enak," ucap Awan penuh semangat.

"Mau nambah?" ledek Embun.

"Nggak lah. Takut sakit perut. Ya udah, mau kemana kita?" Tangan kanan Awan terulur pada Embun membantunya berdiri. Tangan kiri dipakainya untuk mengibas-ngibaskan debu dan rumput yang menempel di celana jeans biru tuanya.

"Kamu pinginnya ke mana?  Tuan rumah kan tugasnya nganter aja," jawab Embun. Padahal sebenarnya hanya alasan gadis itu saja, karena dia sendiri bingung mau ke mana.

"Saya hanya mau mengobrol saja sama kamu, Em. Masalah tempat nggak terlalu penting. Yang penting ada kamunya,"

"Halah. Gombal mukiyo!" Embun mencebik, tapi kata-kata Awan barusan memberi debaran halus di dadanya. "Kita jalan kaki aja ya. Di sini kan tengah kota, mau ke mana saja enak tinggal jalan terus mampir. Sorry ya, Wan. Aku juga nggak punya rencana," lanjut Embun jujur.

"Nggak masalah Embun Kinara. Namamu bagus banget ya. Baru denger aja udah adem. Embun di tepi sungai, bisa juga embun di tepi pantai. Kinara juga bisa berarti si cantik yang dilindungi banyak duri."

Embun hanya membalas dengan senyum. Dulu gadis itu pernah menanyakan arti namanya pada Pak Iman dan Bu Rum. Tapi ternyata bapak dan ibunya sendiri tidak mengetahui makna dari nama yang mereka berikan. Embun dimaknai sebagai semangat pembuka hari, sedangkan Kinara diambil dari nama seseorang yang cukup sukses di kampungnya sana. Tentunya ada harap Embun akan meraih sukses yang sama.

"Namamu juga bagus, Awan Satriaji. Hmm apa ya artinya. Aku belum sempat nanya om google," ujar gadis yang hobi membawa ransel itu.

Ngomong-ngomong soal ransel, sudah dua kali Embun nyaris kecopetan. Pertama saat dia berjalan sendiri di trotoar depan Museum Zoologi. Bagian belakang ranselnya sudah terbuka, tapi sepertinya sang copet kecewa karena tidak ada barang berharga yang Embun simpan di sana.

Kedua kalinya tidak jauh dari sana. Tepatnya di sekitaran pasar Bogor. Jalanan sedang ramai. Embun curiga saat ada yang mendorong-dorong ranselnya. Merasa ada yang tidak beres, Embun menoleh, dan si copet ternyata sedang beraksi. Bukannya teriak, Embun hanya menghardik, "Woi, copet ya lo!" Dan si copet pun berlalu begitu saja tanpa rasa takut, mencari mangsa yang lain.

"Sebenarnya saya kesal dulu bapak memberi nama itu. Gara-gara nama itu, saya sering dijadikan bahan ledekan saat SD. Nama Awan baru menjadi keren saat saya SMA karena dianggap nama yang puitis. Saya langsung sadar, orang tua memberi nama tentu ada maksud dan tujuannya. Apalagi nama belakang saya Satriaji yang berati ksatria yang berharga."

"Wow... " Embun berdecak kagum sambil menepuk-nepukan kedua telapak tangannya.

"Lebih bagus lagi kalau digabung, Em. Jadi Embun Satriaji," lanjutnya sambil terkekeh. Embun pura-pura berpaling ke arah lain, padahal tujuannya hanya satu. Menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah berubah warna semerah tomat.


Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang