"Gue anter sampai kosan," ucap Bayu saat Embun dan dia sampai di persimpangan tempat biasa mereka berpisah menuju kos masing-masing. Embun bukan tipe perempuan yang harus diantar sampai rumah atau depan pintu."Tumben, biasanya juga nggak nganter," balas Embun malas.
"Gue pingin tahu yang namanya Awan, atau lo takut dia tiba-tiba cemburu atau ilfeel karena ada cowok yang ngantar lo pulang." Bayu menyengir meledek gadis manis itu.
Embun memukul lengan kokoh Bayu. "Dih, ngapain takut," balas Embun. "Silakan kalau mau kenalan. Siapa tahu juga kalian bisa jadi teman, sama-sama anak gunung.
"Wow... anak gunung? Gondrong nggak? Bisa main gitar?" tanya Bayu mulai menyelidik.
"Lah ngapain nanyanya begitu?" Embun mengernyit heran.
"Kriteria yang lo cari kan selalu yang begitu. Gue anak gunung, nggak bisa main gitar sama nggak gondrong kan langsung lo tolak." Bayu melirik Embun sambil bersungut.
Gadis berambut sebahu itu hanya bisa tertawa terbahak. "Bay, kita itu lebih cocok jadi teman. Kan udah dibahas kemarin. Lagian lo tuh ya, adik tingkat aja banyak yang antre, napa lo cuekin."
Bayu itu ganteng, baik dan menarik juga. Banyak teman atau adik kelas yang tertarik padanya. Tapi entah apa yang dikejarnya.
"Ck. Dah deh diem." Bayu merajuk kesal.
Tinggal tiga rumah lagi Embun sampai di kos. Jam sudah menunjuk delapan malam. Suasana gang menuju kos sudah sepi. Terdengar suara orang berbincang dari arah teras kos.
Di kursi kayu teras, Embun melihat dua orang pria tengah asyik mengobrol. Salah satunya Awan, teman satu perjalanannya tiga bulan yang lalu.
Embun sendiri tidak pernah menyangka kalau perjumpaannya dengan Awan di atas kapal Bukit Siguntang akan berlanjut dengan pertemuan berikutnya. Mengobrol semalaman sebagai orang asing dengan cepat dan mudah menjadi teman. Mereka sempat bertukar alamat sesaat sebelum kapal merapat di Tanjung Priok. Terakhir saat Awan menaiki tangga, dia melambaikan tangan. Lalu menggunakan isyarat dengan tangan yang diletakkan ke telinga yang langsung diterjemahkan Embun, "Nanti aku telepon ya."
Setelahnya Embun terlupa. Dia harus pulang ke Klaten sebelum membereskan skripsi. Dua bulan kemudian saat dia kembali ke Bogor, didapatinya di kotak pesan berlembar-lembar kertas tertulis "telepon dari Awan, lengkap dengan tanggalnya." Rupanya dia tidak melupakan Embun. Sampai akhirnya mereka bertemu lagi.
Pertemuan pertama mereka lagi, tentu saja di Bogor. Waktu itu Awan pulang dari urusannya di Jakarta. Mereka janjian di stasiun Bogor. Sosok yang Embun temui berubah dari yang sebelumnya. Wajah Awan yang putih bersih dengan alis tebal, mata bulat tajam dan hidung bangir itu terlihat lebih segar. Rambut gondrong sebahunya dipangkas rapi belah tengah.
Malam ini, Embun melihat lagi tawa renyah dan binar penuh semangat Awan.
"Assalamu'alaikum..." sapa Embun.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Awan begitu lengkap.
"Udah lama, Wan. Gimana kabarnya," ucap Embun sambil mengulurkan tangan.
"Setengah jam ada lah. Habis malam mingguan?" Pandangan mata Awan mengarah pada Bayu yang masih bergeming di samping gadis itu.
"Oh, biasa. Habis dari warnet beresin skripsi, sekalian makan. Kenalin nih, temen saya, Bayu."
Awan berdiri dari duduknya dan menjabat erat tangan Bayu. Keduanya tersenyum saling memperkenalkan diri.
"Woi, gue udah kayak makhluk tak kasat mata nih, dicuekin," sahut suara di sebelah Awan.
Mereka semua tertawa sebelum saling berkenalan. Namanya Arif, sahabat Awan yang bekerja di Bogor.
"Ya udah, gue pamit ya, Em, Wan, Rif," ucap Bayu mengundurkan diri.
"Wah saya telat ya, Em? Kamu udah makan? Padahal mau saya ajak makan malam. Salah sendiri sih saya nggak ngasih kabar. Tadinya mau ngasih kejutan, malah saya yang terkejut." Awan tersenyum kecut menyindir Embun.
"Oh belum makan? Ayo atuh dianter lagi ke atas. Nggak ada yang lewat di sini kalau malem, jadi kudu nyari keluar." Embun menjelaskan.
"Yakin mau keluar lagi?" tanya Awan takjub. "Nggak capek ke atas lagi?" lanjutnya.
Rumah kos Embun memang berada di dalam gang. Untuk menuju ke rumah itu, Embun harus menuruni berpuluh tangga. jadi bisa dibayangkan kalau harus keluar lagi. Berapa energi yang harus dia keluarkan untuk nanjak. Bisa-bisa kalori yang dia dapat dari makan capcay setengah jam yang lalu, langsung habis.
"Udah jauh-jauh dari Bandung, masa disuguhi angin doang. Yuk, mumpung masih jam delapan. Malam minggu gini, jam malam di kos jam sepuluh. Saya izin dulu sama temen-temen," putus Embun akhirnya.
Embun lalu beranjak masuk ke rumah yang sudah tiga tahun lebih dia tempati. Tas penuh berisi diktat, skripsi dan peralatan perang lain, diletakkannya di pojok kamar. Diambilnya beberapa rupiah dari dompet dan dimasukkan ke dalam kantong celana panjangnya.
"Mbak, gimana rasanya ke gap?" sahut Ayu yang tiba-tiba sudah di samping Embun.
"Ke gap apaan, Yu?" tanya Embun bingung.
"Itu pacar Mbak dateng pas mbak lagi jalan sama Bang Bayu. Seru banget kayaknya tadi. Coba Ayu ngintip." Adik tingkat Embun yang baru semester satu itu penuh semangat mewawancarai Embun.
"Ada-ada aja lo, Yu. Semuanya teman. Dah ah. Mbak mau keluar dulu. Pintu jangan dikunci ya," ucap Embun sambil menowel pipi gadis itu."
"Tapi tadi Kang Awan bilang dia pacar Mbak Embun," potong Ayu.
"Ah, lo dikerjain sama dia," ucap Embun singkat sambil melenggang pergi dengan hati yang bergejolak.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice Of Life (Cerita Kita)
Fiksi UmumManusia tidak akan pernah tahu kehidupan di depan sana. Tidak bisa mengira walau hanya semenit saja. Begitu juga aku. Untukku, hidup seperti menaiki tangga. Untuk mencapai tangga ke seribu aku hanya perlu menapakinya satu per satu