Aku Memilih Pulang

7 0 0
                                    

Embun masih berpikir matang-matang saat siang itu dia mendapat kabar dari HRD tempat wawancara tempo hari, untuk tes lanjutan.

Hari ini Embun kembali harus mengikuti tes wawancara dengan bagian personalia. Perusahaan di Bogor yang diincarnya, berkantor pusat di segitiga emas, Kuningan Jakarta.

Posisinya cukup sulit. Ada rasa tidak enak karena harus izin. Dia juga sudah membayangkan kasak kusuk di lab. Apalagi Mas Sigit yang entah kenapa pandangannya selalu menusuk. Embun jadi berpikir, apa wajahnya mengingatkan Sigit dengan seseorang yang sudah membuatnya patah hati? Embun sama sekali tidak punya clue, karena seingatnya, dia  tidak pernah berbuat atau berkata aneh yang menyakiti hati. Malah dari awal Embun berusaha menjaga jarak karena tidak ingin membuat masalah.

"Kamu bisa ke sini jam berapa? Saya tunggu." Begitu panggilan yang diterimanya kemarin. Bapak Manajer personalia itu bahkan memberi tahu Embun rute menuju kantor pusat dari Bogor baik dengan moda transportasi bis maupun kereta listrik. 

Dia harus segera memutar otak mencari alasan minta izin. Tidak mungkin dia izin setengah hari lagi karena lokasinya Jakarta. Dia memutuskan berangkat dari Bogor.

Embun sudah membayangkan dirinya seperti orang udik saba kota.

"Pokoknya kalau ke Jakarta, harus kelihatan percaya diri, Em. Walaupun nggak ngerti kanan kiri, cuek aja   Jangan sampai terlihat bingung dan linglung sehingga membuka peluang untuk diincar pelaku kejahatan. Entah penipu, pencopet atau kriminal lain. Kalau pingin nanya, langsung sama pak polisi, jangan sama sembarang orang." Petuah dari Mbak Rinda, salah satu senior di rumah cahaya, diingatnya jelas satu per satu.

Bukan pengalaman pertama juga Embun ke Jakarta. Saat kuliah, setiap hari sabtu Embun mengikuti acara Gelar Kebon di Ragunan. Sebuah kegiatan para pencinta alam memberi makan  hewan-hewan koleksi kebun binatang terbesar di Jakarta itu.

Dengan alasan ada keperluan di kampus, Embun minta izin pada atasannya di Cikarang. Dimulailah petualangannya di Jakarta.

***

"Wow..." decak Embun kagum dengan deretan gedung pencakar langit yang menjulang di langit jakarta. 

"Ngeri juga kalau harus kerja di Jakarta," celoteh Embun bermonolog. Gimana kalau tiba-tiba gempa? Pikiran-pikiran absurd membuatnya bergidik sendiri. Pantas saja dari dulu dia selalu mendapat pelajaran untuk selalu berpikir positif, mencerahkan, bukan menyeramkan.

Embun segera menuju gedung tujuannya. Memasuki lobi, matanya memindai mencari resepsionis atau security. Kembali dia merasa takjub. Bahkan di lobi saja begitu indah. Ada air mancur di ujung ruangan yang memberi sensasi menenangkan dari suara gemericik airnya.

Embun menyerahkan tanda pengenal untuk ditukar dengan kartu tamu sesuai instruksi Mbak resepsionis yang sangat cantik seperti putri di film Disney. Dibanding penampilannya yang hanya mengenakan celana panjang hitam dan kemeja kotak-kotak biru dongkernya, dia lebih mirip upik abu nyasar. Tapi itu nggak penting.

Dengan penuh percaya diri, Embun melangkah pasti menuju lantai delapan. Tempat kantor pusat tempat dia wawancara berada.

Selanjutnya, perjalanan ber jam-jam dari Bogor ke Jakarta, hanya demi menjawab satu pertanyaan dari bagian personalia.

"Jadi kapan anda bisa mulai bekerja?"

Gadis itu tidak tahu harus sedih atau lega. Menurut pak manajer, user yang di Bogor sudah oke. Jadi personalia akan melanjutkan dengan kontrak kesepakatan kerja dan segala hal yang berkaitan dengan karyawan baru.

"Untuk masalah gaji, di perusahaan berlaku standar pendapatan berdasarkan jenjang pendidikan dan pengalaman. Karena anda fresh graduated dengan pengalaman nol tahun, jadi perinciannya seperti ini. Mohon maaf kalau angka ini tidak bisa dinegosiasi, karena memang anda belum punya posisi tawar." 

Pak manajer kemudian menunjukkan pada Embun apa saja hak yang akan didapat Embun sebagai karyawan perusahaan Farmasi Asing dari Jerman itu.

Ditatapnya nanar angka demi angka dan huruf demi huruf yang tertulis di sana. Ingin rasanya Embun berteriak girang. Angka yang tertulis di kertas yang sedang dia amati lebih besar dibandingkan di perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Tentu saja hal itu membuatnya tersenyum semringah. Belum lagi fasilitas yang lain seperti uang makan dan uang transport. Dan satu lagi yang pasti dia akan tetap tinggal di Bogor. Kota yang sudah mulai dicintai. Yang artinya lagi, dia akan bisa meneruskan janjinya pada Bapaknya untuk melanjutkan kuliah lagi.

"Silakan dipikirkan dulu. Kalau memang setuju, kita bisa tanda tangani bersama di atas materai." Pak manajer mengulurkan sebuah pulpen hitam pada Embun dan berlalu meninggalkannya. Memberi cukup waktu untuk berpikir jernih.

Dalam waktu singkat, Embun harus membuat keputusan cepat.

Bismillah... Setelah memastikan semua poin dibaca, dipahami dan tidak ada yang meragukan serta merugikan, dengan mantap Embun menandatangani perjanjian itu.

Akhirnya gadis itu memilih untuk kembali ke Bogor.



Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang